Senin, 05 Oktober 2015

Kajian Teologi Pura Goa Giri Putri Nusa Penida


Agama merupakan pandangan hidup dan kepercayaan yang sifatnya absolut dan tidak dapat diperdebatkan. Agama merupakan wahyu yang diturunkan oleh Tuhan yang berisikan pedoman bagi manusia dalam berpikir, berkata maupun bertingkah laku, atau dengan kata lain agama merupakan the way of live. Didalam mempelajari tentang Ketuhanan sebagaimana diungkapkan dalam kitab Brahma Sutra I.1.1.,merupakan hal yang amat penting dan perlu karena dengan mengenal TUHAN secara tepat dan baik, dinyatakan sebagai jalan yang dapat mengantar manusia kepada jalan kesempurnaan sampai kepada moksa atau nirvana. Surga dan neraka, moksa dan samsara mempunyai arti dan hubungan yang erat sekali dengan ajaran Ketuhanan baik dalam penghayatan maupun pengamalannya (Gede Pudja, 1999 ;1).
      Indonesia  adalah sebuah Negara yang terdiri dari banyak pulau-pulau yang terpisah oleh laut dari barat sampai timur pada masa kerajaan zaman dahulu yang bernama nusantara, yang disatukan oleh maha patih Gajah Mada pada masa kejayaan Majapahit. Belakangan Negara kesatuan ini yang sebelum nusantara sekarang menjadi Indonesia, menurut peneliti I.B. Puniatmaja yang sekarang sudah menjadi sulinggih mengatakan dalam sebuah Dharma Wacananya bahwa Indosesia terdiri dari dua kata yaikni Indo dan Nesia. Nesia artinya pulau-pulau, sedangkan Indo adalah berarti Hindu. Jadi lebih jelas penuturan beliau, Indonesia adalah pulau-pulau (sebelum masuknya pengaruh agama Islam di Indonesia terutama di pulau Jawa yang menjadi tomggak awal munculnya agama Islam di Nusantara).
      Salah satu pulau yang terbesar di Nusantara atau Indonesia yang merupakan pulau Hindu yang terbesar yaitu pulau Bali. Dimana konsep Hindu yang memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dipuja dalam berbagai aspek beliau di tempat-tempat suci yakni diantaranya Pura. Oleh karena pulau ini dikenal sebagai pulau seribu Pura. Pulau Bali sangat tersohor sampai ke mancanegara, karena banyaknya parhyangan yang memagari atau membentengi pulau Bali ini.

      Umat Hindu daerah Bali sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, merupakan kelompok masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai keimanan, ketakwaan, kesatuan dan harmoni serta secara berkelanjutan mengembangkan wawasan kebangsaan, kemajuan, kemandirian dan kesejahteraan. Aktualisasi dari tata kemanan dan harmoni tersebut terwujud dalam konsep Tri Hita Karana.
      
 Tri Hita Karana adalah konsep ajaran agama Hindu yang menciptakan keharmonisan antara dunia dan segala isinya yakni antara manusia dan mahluk lainnya, antara manusia dengan alam dan antara manusia dengan Tuhannya. Dari konsep ini akan memunculkan berbagai aktifitas dan kreatifitas yang divisualisasikan dalam berbagai bentuk kegiatan yang mencerminkan adanya suatu dinamika hidup dan kehidupan manusia. Seirama dengan perputaran roda kehidupan yang berputar menurut hukum Rta (hokum alam). Mengingat manusia adalah mahluk yang berbudaya, memiliki kecendrungan untuk mengorientsikan kehidupan hidupnya pada nilai-nilai budaya yang senantiasa peka terhadap perubahan-perubahan yang akan membawa dampak dan suasana baru pada kurun waktu tertenu.
       
Dalam menjaga keharmonisan dunia beserta isinya, manusia memiliki peranan dan tanggung jawab yang sangat besar dan dalam menjalankan semangat rasa keagamaan inilah nampak mewarnai dan menjiwai umat manusia (Hindu) di Bali khususnya. Dengan konsep ajaran yang menjadi panutan dalam kehidupan dalam kehidupan masyarakat berlandaskan pada doktrin yang termuat dalam ajaran agama Hindu. Pada kenyataannya akan memberi dorongan moral yang sangat tinggi di dalam memperteguh keimanan untuk meraih harapan dari segala usaha yang dilakukan. Penghayatan dan pengamalan terhadap ajaran agama senantiasa untuk berbuat baik demi keharmonisan hidup beragama, agama menggiring dan mengarahkan manusia kepada kesucian batin yang mendalam, tata laku kehidupan kehidupan yang harmonis.
       
Secara konkrit aktivitas kebudayaan yang berorientasi pada konsepsi Tri Hita Karana ini manifest dalam beraneka ragam kesenian upacara yang didukung oleh lembaga-lembaga tradisional (Banjar, Desa adat, Subak, Dadia) sebagai wadah partisipasi aktif masyarakat Bali, baik anak-anak, orang tua, laki maupun perempuan, di pedesa maupun di pekotaan. Tri Hita Karana adalah konsepsi ajaran agama yang selalu dipakai sebagai pedoman dan menjadi landasan dalam bertindak, yang mencangkup tiga hal yaitu meliputi bidang Parhyangan, bidang Pawongan dan Palemahan. Parhyangan mencangkup hubungan manusia dengan Tuhannya dapat dikemukakan didalam hubungannya dengan pura sebagai tempat suci yang merupakan media dalam menghubungkan diri kepada Tuhan/Ida Sang Hyang Widi Wasa. Bidang Pawongan yakni mencakup hubungan manusia dengan sesama manusia dan bidang Palemahan adalah mencakup hubungan mengenai manusia dengan alam. Pendiri suatu tempat suci beserta dengan palinggih-palinggihnya dilakukan dengan ketentuan agama, misalnya dengan menentukan arealnya, tata letak palinggihnya, serta upacara penyuciannya (Wiana, 1994 : 9).
      
 Dalam hal pengamalan ajaran agama Hindu terutama dalam prakek-prektek keagamaan memang terdapat cukup banyak perbedaan antara umat Hindu di Bali utara dengan Bali selatan, begitupun tehadap perbedaan jenis palinggih-palinggih. Dengan sifat ajaran agama Hindu yang supel, fleksibeldan selalu mengacu pada anutan desa, kala dan patra serta dresta, menjadikan praktek keagamaan yang dilakukan oleh umat Hindu hamper selalu menampakan perbedaan. Namun patut dicatat bahwa penampakan perbedaan itu hanya menyangkut soal “kulit” sedang perihal “isi” yang berhubungan dengan hakekat, tujuan, kasukseman, filosofi atau tattwanyatetap berpijak pada konsep yang sama/satu yaitu Veda dengan berbagai penjabarannya (I Gusti Ketut Widana, 2008 :71-72).
       
Dalam konteks pura sebagai tempat pembinaan umat adalah hal yang sangat suci untuk semakin meningkatkan kualitas keagamaan. Di pura umat dapat berkumpul, berembug, saling mengisi pengetahuan dan pemahaman terhadap ajaran agama. Pura adalah tempat pemohon berkah dan rahmat dari Ida Sang Hyang Widi Wasa, tempat sujud lahir dan batin. Oleh karenanya di desa Karang Sari tepatnya di kecamatan Nusa Penida Kabupaten Klungkung, di bangun Pura yang bernama Pura Goa Giri Putri yang berada atau di bangun dalam Goa yang sangat indah dan menakjubkan. Banyak kejadian-kejadian yang sangat unik terjadi di pura ini, diantaranya ada palinggih Dewi Gangga dan palinggih Dewi Kwan In, dimana para pamedek yang tangkil di Pura Goa Giri Putri banyak yang dapat disembuhkan dari penyakit, karena memohon berkat dari  sang Dewi untuk kesembuhan (Usadha), sehingga tempat ini dikeramatkan dan selalu dijaga kesuciannya.
       
Masyarakat Hindu yang diluar Nusa Penida dan juga di luar Bali belum banyak yang mengetahui keberadaan Pura Goa Giri Putri tersebut, oleh karena itu perlu adanya pemahaman dan pengkajian teologi pendidikan agama Hindu terhadap Pura Goa Giri Putri untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang teologi/ketuhanan dalam ajaran agama Hindu khususnya pada umat Hindu sehingga nantinya bisa mempertebal keimanan dan keyakinan terhadap sang pencipta atau Ida Sang Hyang Widi Wasa.

Sejarah Pura Goa Giri Putri

    Didalam ajaran Hindu kata “Pura” dalam bahasa Sanskerta berasal dari akar kata “Pur” yang berarti kubu, tembok benteng daerah atau kota. Juga dalam bahasa Indonesia arti kata “Pura” mengkhusus sebagai tempat sembahyang umat Hindu (Dharmika, 2006 : 62). Jadi pura adalah tempat suci umat Hindu untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam segala prabhawanya (manifestasi-nya) dan Atma Siddha Dewata (roh suci leluhur). Didalam kamus bahasa Jawa kuna Indonesia menjelaskan bahwa Pura adalah istana, keraton, puri, kota, ibu kota, kerajaan, negeri. Kemudian pengertian Pura juga dijelaskan dalam buku Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu-XV (2003:63) yaitu pura adalah tempat suci untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Disamping menggunakan istilah Pura, menyebut tempat suci atau tempat pemujaan, dipergunakan juga istilah Kahyangan atau Parhyangan.

Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan kata Goa berarti tempat pertapaan atau tempat bagi para pertapa untuk melaksanakan olah tapa. Dimana tapa itu sendiri mengandung pengertian adalah panas. Jadi prosesnya adalah bagai mana orang memanaskan sadhana spiritualnya untuk dapat lebih mendekatkan diri pada Hyang Maha Kuasa.

Di Bali, banyak terdapat goa yang berfungsi sebagai tempat pemujaan. Dalam salah satu goa di Nusa Penida, ada Pura Goa Giri Putri. Dan Pura Goa Giri Putri adalah termasuk Pura yang memiliki ciri khas tersendiri dan sangat unik karena begitu masuk kedalam mulut Goa yang hanya bisa dimasuki sendiri atau satu orang, kemudian di dalam Goa halamannya begitu luas dan menakjubkan. Kondisi fisik Goa Giri Putri pada 1990-an dibanding kondisi sekarang, tampak beda. Dulu goa sangat "mengerikan", gelap, lantai dasar licin, tirta melimpah, dan belum banyak pengunjung. Kini, sebaliknya, terang benderang, lantai dasar tak begitu licin lantaran beberapa bagian sudah dipelester dan telah tersedia beberapa tangki air, pintu masuk goa tetap relatif sempit hanya dapat dimasuki satu orang saja.

Berdasarkan informasi yang didapat bahwa Goa ini adalah Goa alami yang sudah ada sejak adanya pulau Nusa penida. Tetapi lebih lanjut dijelaskan tentang pengenalan Pura Goa Giri Putri sebagai tempat sembahyang itu berlangsung secara perlahan-lahan., yang sebelumnya tempat itu hanya dikenal oleh masyarakat Karang Sari sebagai tempat pemohon tirtha suci. Yang kedua Goa itu dipergunakan sebagai tempat rekreasi pada zaman itu. Mungkin itu berlangsung hingga tahun 70-an. Setelah itu secara berangsur-angsur pula setelah tahun 80-an Pura Goa Giri Putri ini mulai diperkenalkan kepada masyarakat umum, dan secara mengejutkan Pura itu menjadi Pura yang sangat terkenal. Dan sepertinya Pura ini menjadi Pura yang wajib dikunjungi oleh setiap orang secara rohani atau bertirthayatra ke pulau Nusa penida.

Berdasarkan petunjuk niskala yang diterima oleh Ida Pandita Dukuh Acarya Daksa dari Padukuhan Samiaga, Penatih, Denpasar menyebutkan di palinggih pertama yang dipuja adalah kekuatan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam wujudnya sebagai Hyang Tri Purusa menurut ajaran Siwa Sidhanta. Terdiri atas Paramasiwa (Nirguna-Brahman), Sadasiwa (Saguna-Brahman), dan Siwatma (Jiwatman). Lalu di sebelah kiri pintu masuk goa ada Hyang Ganapati berwujud Lingga Cala dari bahan batu karang sebagai penjaga pintu masuk goa. Di halaman depan goa juga dilengkapi dengan bangunan penunjang sebagai tempat pesandekan atau menerima tamu. Bila usai bersembahyangan di palinggih Tri Purusa, orang segera dapat memasuki Goa Giri Putri. Biasanya orang yang baru datang pertama kali ke tempat ini akan merasa takut atau waswas mengingat mulut goa sangat kecil, hanya bisa dilalui satu orang saja. Namun itu hanya berjarak sekitar tiga meter, setelah melewati itu, orang-orang akan tercengang dan takjub, karena tidak menyangka sebelumnya bahwa rongga goa sangat lebar dan tinggi serta bisa menampung sekitar 5.000 orang. Tatkala terowongan kecil dilewati, orang akan dapat melihat dua palinggih di dalam bagian depan goa.
Selanjutnya di bagian tengah-tengah goa dijumpai lima palinggih -- tiga di bawah dan dua di atas. Palinggih di bagian bawah sebelah utara berwujud Padmasari, stana Hyang Giri Pati/Siwa. Di sebelah kiri Padmasari ada panyineban Ida Bhatara berwujud Gedongsari. Lalu di bagian bawah selatan ada tempat palukatan dari Hyang Dewi Gangga, dan palinggih Hyang Tangkeb Langit di sebelah barat tangga yang berwujud gedong masif. Sebelum melakukan persembahyangan, di tempat ini wajib melakukan palukatan dasa mala dengan memohon kepada Hyang Giri Putri, Dewi Gangga, dan Hyang Giri Pati agar secara lahir dan batin terlepas dari hal-hal negatif.

Jadi sampai saat ini Pura itu terus disempurnakan berkat kunjungan dari masyarakat luar Karang sari khususnya, sehingga dana punia yang masuk bisa dipakai untuk memperbaiki struktur, pelayanan serta kemudahan bagi yang berkunjung ke Pura Goa Giri Putri itu. Hingga resmi sejak Purnama kelima tanggal 25 oktober 2007 Pura goa Giri Putri Ini resmi di upacarai melalui proses Ngenteg Linggih, Mupuk Pedagingan, sehingga secara upacara Pura ini syah/resmi menjadi pura yang dipergunakan untuk tempat melakukan persembahyangan bagi umat Hindu.

Berdasarkan buku “Selayang Pandang Pura Goa Giri Putri” yang disusun oleh I Nyoman Dunia,S.Pd (Bendesa Adat Karang Sari) dan I Ketut Darma MBA (Mangku Gde Giri Putri) yang diterbitkan oleh paramita dalam rangka Karya Mamungkah Ngenteg Linggih, Purnama Kalima 25 Oktober 2007 dijelaskan bahwa sebelum tahun 1990 Goa Giri Putri hanyalah sebuah Goa yang dijadikan objek wisata local, terutapa pada hari raya Galungan dan Kuningan. Disamping itu air yang ada di taman Goa dijadikan air suci atau tirtha oleh masyarakat di daerah karang Sari yang kaitan dengan diadakannya upacara Panca Yadnya. Perlu diketahui kapan dan siapa yang menemukan Pura Goa Giri Putri, dan untuk apa pura tersebut, tidak jelas dalam buku ini.

Selanjutnya dalam perkembangannya, oleh Gubernur Bali (Prof. Ida Bagus Mantra) yang pada tahun tersebut mengadakan kunjungan ke Nusa penida dan singgah di Pura Goa Giri Putri, memberikan motivasi/support kepada warga atau masyarakat Desa pakraman Karang Sari untuk melestarikan dan menjaga keberadaan Pura Goa Giri Putri baik sebagai objek wisata spiritual maupun sebagai tempat persembahyangan. Dengan memberikan dana motivasi sebesar Rp 600,000,- yang diterima oleh bapak Kadus saat itu I Made Muji. Kemudian dana tersebut diserahkan kepada Kelian Dinas Desa Adat Karang Sari yaitu I Ketut Suda selanjutnya dikelola oleh keluarga besar “Pan Repag” yang di kordinir oleh I Made Gray dan I Wayan Ruma (sekarang menjadi salah satu pemangku disana). Mulai sat itulah didirikan palinggih tempat pemujaan kepada “Dewa” yang bersemayam didalam Goa Giri Putri sekaligus sebagai objek wisata spiritual dan budaya, dan mulai saat itu Goa tersebut diberi nama “Goa Giri Putri”.

Goa adalah sebuah tempat/lubang besar ataupun kecil yang berada didalam tanah, baik terdapat di perbukutan, pegunungan atau dalam gunung yang memiliki rongga, ruang dengan panjang dan lebar tertentu. Giri Putri adalah sebuah nama yang diberikan pada sebuah Goa yang berada di pulau Nusa Penida, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Bali. Tepatnya Goa yang berada di dusun Karang Sari, Desa Pakraman Karang Sari, Desa Suana.
Selanjutnya dijelaskan pula tentang makna Giri Putri yaitu Giri dalam Kamus Jawa Kuno artinya Bukit/Gunung, juga berarti kuat dan tangguh. Dalam buku pendidikan agama Hindu salah satu yang digolongkan kedalam tempat suci adalah Gunung. Gunung memiliki kualifikasi tempat yang tinggi,menurut keyakinan agama Hindu semakin tinggi suatu tempat maka semakin suci tempat tersebut. Sedangkan Putri artinya perempuan/wanita, putri adalah kata feminisme dalam bahasa sanskerta yang menunjukan pada perempuan atau ibu. Putrid juga berarti istri, dalam buku Ramayana II ada disebutkan “ndata tita sirang narendra putri” yang artinya mari dilewatkan keadaan beliau dewa agung istri.dalam kaitannya dengan pura Goa Giri Putri, putrid disini adalah menunjuk pada istilah pura yang menggunakan konsep Purusa dan Pradana atau laki-laki dan perempuan. Dalam konsep ajaran agama Hindu, Putri yang dimaksud adalah sebuah nama simbolis bagi kekuatan atau kesaktian Tuhan yang memiliki sifat ke-Ibuan atau kewanitaan. Jadi Goa Giri Putri adalah sebuah tempat/lubang yang memiliki rongga, ruang dan ukuran tertentu sebagai tempat bersemayamnya kekuatan atau kesaktian Tuhan dalam manifestasinya berupa seorang wanita cantik yang disebut “Hyang Giri Putri” yang tiada lain adalah salah satu saktinya dan kekuatan Tuhan dalam wujudnya sebagai “Siwa”.

Goa sejak Zaman dahulu sudah menjadi tempat bersemayamnya para Dewata, hal ini sesuai dengan uraian yang terdapat dalam buku “Menyikapi Rahasia Siwa di Bumi”(Patal Bhuvaneswara) oleh Prof. F.K Karanavar, yang telah diterjemahkan oleh Made Aripta Wibawa, dikatakan bahwa didalam Patal (Goa) dipujalah Dewa Siwa tidak saja manusia yang memuja tetapi dilayani oleh mahluk Sorgawi dan Maha Rsi seperti Wasistha dan dipuja oleh Brahma dengan dewa-dewa lainnya.

Sama halnya dengan kisah Raja Rituparna adalah Raja dari kerajaan Ayodya dari Dinasti Surya.  Ia adalah keturunan ke tujuh dari garis keturunan kaisar besar, Bhaeegeratha yang bertanggung jawab membawa sungai Gangga menuju Patal. Suatu ketika sang rakja berburu dengan berjalan kaki karena tidak memungkinkan berburu dengan kreta, karena binatang buruannya lepas dan melarikan diri sampai di depan goa, syukurlah sang raja melihat seorang penjaga pintu goad an mengaku dirinya adalah salah satu pengikut Siwa. Raja Rituparna meminta bantuannya dan Dwarapalaka (pebjaga pintu) membantu raja memasuki goa. Penjaga pantu menjamin bahwa raja akan menemukan tempat yang demikian menyenangkan dan terpuaskan oleh pemandangan yang luar biasa indahnya disana. Goa menjadi pempat idaman para penekun kerohanian karena kesucian dan keindahannya sehingga banyak goa-goa yang besar di Bali dijadikan sebagai tempat suci untuk melakukan pemujaan kepada Dewa Siwa (Karanavar, 2000: 13-14).

Dalam pustaka Babad Nusa Penida yang disuse oleh Jero Mangku Made Buda dijelaskan bahwa selain turun dipuncak gunung Mundhi, Ida Bhatara Siwa juga turun di sebuah tempat pada tahun saka 55, yang sekarang bernama Tunjuk Pusuh. Tetapi pada tahun saka 45, Dewi Kwan Im lebih dahulu turun dan beristana di Goa, dan Dewi Parwati menyusul turun ke bumi pada tahun saka 60, dan banyak yang ikut turun seperti: Bhatara Brahma, Mahadewa, Ganapati, Gangga, Tri Purusha, dan Basukih. Sekarang tempat atau Goa tersebut bermana Goa Giri Putri yang menjadi pusering jagat, sedangkan Dewi Parwati yang bergelar Hyang Giri Putri sebagai penjaga tirta yang ada di Pura Goa Giri Putri. Selain berstana di Pura Goa Giri putri dan Pura Tunjuk Pusuh, juga ada yang berstana di Pura Batu Medau.

Menyimak dari Babad Nusa penida di atas jelas diketaui bahwa keberadaan Pura Goa Giri putri berlangsung dari tahun saka 45 sampai tahun 60, dan bukti yang sangat jelas yang dapat kita ketahui dan perhatikan didalan struktur palinggih-palingih yang ada baik didalam Goa maupun diluar Goa yakni adanya Palinggih Hyang Tri Purusa, Dewa Ganesha atau Ganapati, Palinggih Hyang Basuki, pelinggih untuk memohon pangelukatan pada Dewi Gangga, palinggih Hyang Giri Pati, sebagai palinggih pusat adalah diistanakannya Hyang Giri Putri beserta Payogan-Nya. Bahkan Palinggih Dewi kwan Im juga dapat dijumpai di ujung Goa dan sekarang telah dikembangkan disampaing beliau adanya palinggih Sri Sedana/Ratu Syahbandar. Secara umum, di tempat ini merupakan perpaduan konsep Siwa-Budha serta tempat bagi pemedek memohon anugerah kesejahteraan lahir batin, agar murah rezeki, dipermudah jalan menuju kesuksesan dalam berusaha, kedamaian hidup, keselarasan dan keharmonisan rumah tangga serta memohon anugerah keselamatan umat manusia dan lainnya.  

Sistem keyakinan umat Hindu  pada masyarakat Bali akan menimbulkan suatu sistem upacara keagamaan yang beraneka ragam bentuk dan jumlahnya. Dalam melaksanakan upacara keagamaan, masyarakat Hindu pada khususnya masyarakat Bali membuat bangunan tempat pemujaan sebagai stana atau linggih dari dari Ida Sanghyang Widi Wasa dengan manifestasinya sebagai Hyang Giri Putri, dan merupakan sebuah proses pembelajaran dari awalnya masyarakat Karang Sari mulanya tidak mengenal pura ini secara sastra dan tattwa akhirnya bisa mengenal dengan baik. Makin erat hubungan antara aparat Pemerintah dengan aparat Desa serta masyarakat yang pada akhirnya menimbulkan hubungan yang harmonis antara lembaga-lembaga dengan masyarakat sebagai orang yang dibina.


Fungsi Pura Goa Giri Putri

      Seperti pura-pura yang lainnya Pura Goa Giri putri juga memiliki fungsi sebagai berikut; Pura Goa Giri Putri mempunyai fungsi religius karena digunakan sebagai tempat untuk memuja Ida Sang Hyang Widi Wasa yeng mewujudkan diri sebagai Hyang Giri Pati/ Hyang Giri Putri serta berbagai manifestasi beliau yang dipuja di pura ini sebagai Hyang Wasuki, Hyang Siwa Amertha, Dewa Ganesha, Dewi Gangga serta Dewi Kwan Im yang dipuja sebagai dewi kemakmuran serta memberikan perlindungan dalam hal kesehatan. Fungsi magis Pura Goa Giri Putri ialah sebagai tempat umat Hindu meningkatkan spiritual seperti tapa, yoga dan semadi sehingga banyak diantara para pemedek yang datang mendapat anugrah berupa kekuatan magis dalam rangka mampu memunculkan kekuatan-kekuatan gaib.
       
Kata Magis adalah dalam kamus filsafat terdapat beberapa pengertian  yaitu: magis adalah salah satu bentuk agama prinitif. Dalam magis banyak gejala yang dihubungkan dengan kekuatan gaib, magis juga dapat diartikan sebagai ritus yang bertujuan untuk mempengaruhi orang, binatang-binatang, roh-roh dan lainnya. Didalam magis terkandung siatu bentuk spesifik, dalam bentuk pemikiran semacam ini belum bisa ditarik suatu perbedaan kualitatif antara benda-benda. Karena itu terjadi pemindahan cirri-ciri dari suatu gejala atau hal ke beberapa gejala dan hal lain. Fungsi magis dari Pura Goa Giri putri ini adalah tempat bagi umat Hindu yang datang kesana untuk meningkatkan spiritual seperti melakukan yoga dan semadi.
       
Dalam kaitannya dengan mata air sebagai tirtha dalam Pura Goa Giri Putri, perlu diketahui arti tirtha tersebut. Karena pada umumnya umat Hindu sangat pantang untuk berbuat yang bertentangan dengan ajaran agama di kawasan suci, utamanya dilokasi mata air yang diyakini suci itu, oleh karena setiap hulu mata air di Bali, umumnya dibangu tempat untuk melakukan pemujaan, karena air dari mata air tersebut akan menjadi Tirtha dan sangat diperlukan dalam upacara panca yajna, baik Nityakala (rutin) maupun Naimitikakala (insidental). Tirtha adalah nama atau tempat untuk melakukan Tirthayatra berupa mata air, tei sungai, tepi pantai atau tepi danau.
       
Arti kata Tirtha adalah tempat menyeberang, jalan melintas. Air adalah sarana untuk menyucikan, unsur yang memberikan kemakmuran, arus kehidupan yang dapat diseberangi didalan realisasi diri dan perjalanan Tirthayatra dapat menyebrangkan seseorang menuju pantai (kebahagiaan yang sejati). Tempat Tirthayatra adalah akhir perjalanan menuju kedalam (diri), itu bukan berarti tujuan, tetapi tujuan itu adalah untuk melewati titik pusat itu, dan pandangan ini mengarahkan kepada makna Tirthayatra yang sesungguhnya,yakni mencari sang diri kedalan diri. Dalam pengertian yang lebih luas, setiap tempat suci seperti pura, mandira dan sejenisnyajuga disebut sebagai Tirtha atau Patirtan tempat melakukan Tirthayatra (I Made Titib, 2003:79).
      
 Fungsi tirtha sebagai usada (pengobatan) didalam kaitannya dengan Pura Goa Giri putri yaitu kata usada berasal dari kata ausudhi (Bahasa Sanskerta) yang berarti tumbuh-tumbuhan yang mengandung khasiat obat-obatan. Kata usada ini tidaklah asing bagi masyarakat Bali, karena sering dipergunakan dalam percakapan sehari-hari dalam kaitannya dengan mengobati orang yang sakit. Didalam kitab Ayurveda ada beberapa jenis penyakit yang di cantumkan diantaranya Adi bala pravrata yaitu penyakit keturunan atau herediter, Janma bala pravrtta yaitu penyakit yang diperoleh dari sejak dalam kandungan atau congenital, Dosha bala pravrtta yaitu penyakit gangguan pada unsur Tri Dosha, Kala bala pravrtta yaitu penyakit akibat pengaruh musim, Daiva bala pravrtta yaitu penyakit akibat gangguan niskala, tidak nampak/supranatural, Svahava bala pravrtta yaitu penyakit akibat gangguan sekala, yang nampak, natural atau alami, penyakit atau luka akibat trauma seperti Sastra kerta yaitu penyakit atau luka akibat terkena senjata, alat-alat benda tajam, dan Vyala krta yaitu penyakit akibat luka atau gigitan binatang (Aripta, 2006:46). Jadi dari pemaparan diatas banyak jenis bala/penyakit yang bisa terjadi pada kehidupan manusia maka dari itu perlunya untuk memohon berkat atau wara nugraha dari Tuhan/Ida Sang Hyang Widi Wasa agar beliau senantiasa memberikan dan melimpahkan rahmat-Nya dalam suatu kehidupan.
       
Banyaknya masyarakat yang datang ke pura ini selain untuk tujuan sembahyang juga memohon tirtha pangelukatan dan juga tirtha ini di bawa pulang kemudian dijadikan sebagai sarana pengobatan bagi keluarga yang sakit dengan cara melukat, bagi masyarakat air yang keluar dari sumber mata air tersebut diyakini dapat menyembuhkan beberapa penyakit seperti penyakit sekala (natural, alami) dan niskala (supranatural, personalistik, kasat mata). Fungsi ekonomis Pura Goa Giri putri adalah karena banyaknya orang yang diluar Karang Sari yang melakukan pemujaan di tempat itu, secara otomatis kehidupan masyarakat yang ada sekitar pura meningkat taraf kehidupannya, karena banyaknya kunjungan sehingga lebih banyak bisa melakukan aktivitas perdagangan, selain melakukan aktivitas di laut.
       
Didalam fungsi sosial Pura Goa Giri Putri yaitu sebelum abad ke 11 M Mpu Kuturan menata kehidupan beragama Hindu di Bali, telah dijumpai adanya tiga pura pokok di Bali yaitu Pura segara, Pura Penataran dan Pura Puncak. Hal ini sebagai sarana pemujaan kepada Tuhan/Ida Sang Hyang Widi Wasa di Triloka. Pura Segara memuja Tuhan sebagai jiwa Bhur Loka. Pura Penataran memuja Tuhan sebagai jiwa Bwah  Loka, dan Pura puncak memuja Tuhan sebagai jiwa Swah Loka. Pura Segara selalu di bangun di di pantai suatu laut yang dianggap ideal. Umumnya dari tenpat itu dipandang adanya gunung. Pura penataran di bangun ditengah-tengan dan pura puncak dibangun di gunung.hal ini kemungkinan bagi permohonan pada Tuhan agar segara dan gunung atau juga ukir agar selalu berfungsi dengan baik.kalau segara dan gunung dapat berfungsi dengan baik maka kehidupan di Penataran akan aman dan sejahtera. Karena kehidupan di Penataran (Bwah Loka) atau pemukiman tidak boleh berbuat sewenang-wenang di segara dan di gunung. Disamping itu segara juga sebagai sarana untuk memohon Tirtha Amertha (Amet sari ning amerta ring telanging segara) tatkala tiap melakukan Melasti setiap sasih kesanga (Wiana, 2006:95).
       
Fungsi yang lain yang paling penting juga adalah sebagai tempat persembahyangan bersama bagi umat sedharma, khususnya ketika piodalan atau tibanya hari-hari raya, sebagai tempat melaksanakan pendidikan dan meningkatkan pengetahuan, pendalaman, penghayatan dan pengalaman agama Hindu bagi umatnya, sebagai tempat untuk melaksanakan peparuman guna membahas berbagai masalah tentang pura dan karma dadia penyungsung pura. Sebagai tempat untuk melaksanakan sangkepan yaitu membayar iuran dan kewajiban lain dari karma dadia untuk kepentingan pura dan wadah atau tempat dalam meningkatkan rasa kekeluargaan, rasa persaudaraan, meningkatkan solidaritas kelompok, saling tolong menolong dan bergotong-royong dengan sesama umat Hindu, khususnya masyarakat Desa Pakraman Karang Sari.

Pura Goa Giri Putri Sebagai Tujuan Objek Pariwisata

      Perkembangan sektor industri pariwisata di Bali sangat dirasakan dampak positifnya, terutama sekali peningkatan income perkapita bagi umat. Hal ini mendorong umat untuk melaksanakan upacara Yadnya dengan lebih semarak lagi. Pelaksanaan upacara Yadnya bagi umat tertentu menjadi ukuran prestise seseorang. Adanya kecendrungan yang semakin meningkat kwantitas pelaksanaan upacara Yadnya, perlu diimbangi dengan meningkatkan pengetahuan mereka akan arti dan makna upacara yang dilaksanakannya. Penerbit buku-buku agama Hindu yang memuat maksud dan tujuan akhirnya sangat diperlukan, sehingga umat dapat melaksanakan Yadnya dengan dasar pengertian yang benar, tidak semata-mata hanya berdasarkan gugon tuwon dan “mule keto” saja. Inilah yang dapat kita lihat di Bali. Kesimpulannya justru dengan semakin meningkat pendapatan masyarakat atau umat, pelaksanaan upacara Yadnya makin meningkat dan semarak (Singgin, 1992:8).
       
Dalam hal akselerasi atau percepatan perkembangan sektor kepariwisataan, boleh jadi Kabupaten Klungkung dikategorikan tertinggal jauh dibandingkan kabupaten/kota lainnya di Bali. Bumi yang terkenal dengan makanan yang khasnya ini yaitu Serombotan  tidak punya objek wisata yang “secemerlang” pantai Kuta, pantai Sanur, Tanah Lot, Lovina, Candidasa maupun kawasan eksotik Nusa Dua. Dunia pariwisata Klungkung relatif sepi dari ingar-bingar kehadiran wisatawan mancanegara maupun domestik. Masih untung, kabupaten dengan luas wilayah tersempit di Bali ini memiliki Kertha Gosa dan Taman Gili yang mampu memikat wisatawan lewat kemegahan arsitektur dan lukisan wayang stil Kamasan yang memenuhi langit-langit bangunannya. Di luar itu, tidak ada lagi objek wisata yang memikat. Sementara kawasan pantai berpasir putih di Nusa Penida, Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan bagaikan mutiara terpendam yang dipisahkan oleh Selat Badung berarus keras/garang. Belum bisa dipandang secara optimal akibat ketiadaan fasilitas penunjang seperti dermaga yang representatif, air bersih yang mencukupi, hotel-hotel maupun fasilitas penunjang kepariwisataan lainnya. Kondisi ini memaksa sektor kepariwisataan Klungkung tetap “merangkak” dalam mengejar ketertinggalannya dari daerah-daerah lain yang ada di Bali.
       
Namun di balik segala keminusan itu, Klungkung memiliki sejumlah “mutiara terpendam” lain yang potensial diasah menjadi objek wisata alternatif sekaligus untuk mendongkrak kesejahteraan masyarakat setempat. Mutiara terpendam itu adalah Pura-pura besar yang berdiri megah di wilayah Klungkung daratan maupun pulau tandus Nusa Penida. Sejumlah pura yang bisa dimasukkan ke dalam “barisan” itu adalah Pura Kentel Gumi (Desa Tusan, Kecamatan Banjarangkan), Pura Penataran Agung (Kelurahan Semarapura Kangin, Klungkung), Pura Dasar (Desa Gelgel, Klungkung), Pura Watu Klotok (Desa Tojan, Klungkung) dan Pura Goa Lawah (Desa Pesinggahan, Dawan), Pura Dalem Ped (Desa Ped, Nusa Penida), Pura Bukit Mundi (Desa Klumpu, Nusa Penida), Pura Batu Medau (Desa Suana, Nusa Penida) dan Pura Goa Giri Putri (Desa Suana, Nusa Penida).
       
Pura Kahyangan jagat tergolong pura untuk umum, dan di puja oleh seluruh umat Hindhu yang ada di Indonesia. Pura ini sebagai tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa dalam segala prabhawa-Nya atau manifestasi-Nya. Sedangkan Pura Dang Kahyangan dibangun untuk menghormati jasa-jasa pandita (guru suci). Pura Dang Kahyangan dikelompokkan berdasarkan sejarah. Di mana, pura yang dikenal sebagai tempat pemujaan di masa kerajaan di Bali, dimasukkan ke dalam kelompok Pura Dang Kahyangan Jagat, seperti Pura Besakih, Pura Goalawah, Pura Andakasa, Pura Rambut Siwi, Pura Silaukti, Pura Lempuyang dan banyak lagi yang lainnya. Dan karena latar belakang sejarah, pura ini sering dijadikan tujuan objek wisata di Bali.
       
Bagi wisatawan yang ingin wisata di Bali, mengunjungi pura atau masuk ke areal pura yang ada  di Bali, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan bagi wanita yang lagi datang bulan tidak diperbolehkan masuk ke areal pura karena takut akan menghilangkan kesucian pura atau menjadikan pura tersebut menjadi kotor (leteh) dan wisatawan wajib menggunakan sarung dan selendang, tidak melakukan hal asusila di areal pura, tidak berkata-kata kotor, mendahulukan/ memprioritaskan orang yang lagi sembahyang.
       
Pura Goa Giri Putri terletak di Desa Suana Nusa Penida Kabupaten Klungkung Bali. Pulau Nusa Penida adalah pulau terluar dari Provinsi Bali. Bisa ditempuh dengan kapal cepat/ fast boat dalam waktu 45 menit dari Pelabuhan Padang Bay dan Sanur. Banyak berdiri Pura di Nusa Penida ini, salah satunya adalah pura yang terletak di dalam goa yang dikenal dengan Goa Giri Putri. Lokasi Goa pada ketinggian 150 meter dari permukaan laut dan memiliki panjang sekitar 310 meter. Pura ini sebagai tempat memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai seorang perempuan cantik yang disebut Hyang Giri Putri, yang merupakan salah satu saktinya dan kekuatan Tuhan dalam wujudnya sebagai Dewa Siwa.
      
 Untuk mencapai lokasi kita harus naik jalan berundak-undak (anak tangga) yang berjumlah 110 undak. Sampai di atas, bertemu pelinggih pertama berupa sebuah Padmasana, pemandangan dari atas sini ke lepas pantai begitu indah, angin semilir yang sejuk begitu membuat nyaman dan khusuk saat melakukan persembahyangan. Goa Giri Putri sering dijadikan objek wisata lokal terutama di Hari Raya Galungan dan Kuningan. Di sini terdapat sebuah goa kecil menuju Goa utama, goa ini berdiameter sekitar 70 cm di antara lekukan batu, masuk ke mulut goa, kalau masuk harus berjalan sambil berjongkok sekitar 3 meter,  setelah itu akan tiba di sebuah ruangan goa yang cukup besar, sehingga mata yang menyaksikannya merasa tercengang ternyata mulut goa yang begitu kecil di dalamnya terdapat ruangan goa yang besar, yang bisa menampung hampir 5000 orang.
      
 Di dalam ruagan Goa ini terdapat sekitar 6 buah pelinggih. Bagi umat Hindu yang akan melakukan persembahyangan agar bisa menyiapkan sarana dan prasarana, disini juga para pemedek akan diberikan pengelukatan. Pada akhirnya Goa tembus dengan mulut goa yang besar, Pelinggih terakhir yang ditemui di mulut Goa adalah  pelinggih Hyang Siwa Amerta, Sri Sedana/Ratu Syahbandar dan Dewi Kwam im yang merupakan Dewa Pemurah, Pengasih dan Penyayang, Penolong, Kebijaksanaan serta Dewa-dewi Kemakmuran.
       
Untuk di Bali konsep pariwisata budaya telah merupakan pilihan dan kesepakatan bersama sebagai identitas pariwisata. Kesepakatan itu dicapai dalan seminar pariwisata Budaya Daerah Bali tanggal 15 September 1971 yang dituangkan dalam perda No.3,1974 dan kemudian direvisi dalam Perda No.3,1991. Identitas Pariwisata Budaya diharapkan menjadi referensi dan capital local, kebanggaan Nasional dan apresiasi Internasional.
      
 Isi konsep pariwisata menurut Perda No.3 1974: “Pariwisata Budaya adalah salah stu jenis pariwisata yang dalam pengembangannya ditunjang oleh fackor kebudayaan. Kebudayaan yang dimaksud adalah kebudayaan Bali yang dijiwai oleh agama Hindu”. Kemudian dalam revisi perda No.3 1991: “Pariwisata budaya adalah jenis pariwisata yang dalam pembangunan dan pengembangannya menggunakan kebudayaan daerah Bali yang dijiwai oleh agama Hindu yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional sebagai potensi dasar yang paling dominan, yang didalamnya tersirat satu cita-cita akan adanya hubungan timbale balik antara pariwisata dengan kebudayaan, sehingga meningkatkan secara serasi, selaras dan seimbang” (Griya, 2006:1).

Goa Giri Putri menurut penuturan Ida Pandita Dukuh Acharya Dhaksa bahwa tempat ini pada awalnya dipergunakan sebagai tempat rekreasi bagi para penduduk setempat, dan dipergunakan sewaktu-waktu pada saat hari raya tertentu sepreti hari raya Galugan dan Kuningan. Setelah dipasang papan nama pada sekitar tahun 80-an oleh mahasiswa Unud yang melakukan kuliah kerja nyata disana, barulah tempat ini dikenal masyarakat sebagai kawasan suci untuk melakukan persembahayangan. Selanjutnya dijelaskan bahwa kedepannya pura ini diharapkan menjadi sebuah objek wisata baik local maupun mancanegara yang ingin mengadakan pendakian spiritual, walaupun sampai saat ini Pra Goa Giri Putri ini belum dimasukan oleh Perda sebagai kawasan wisata.

Menurut penuturan Mangku Nyoman Dunia juga mengatakan hal yang sama tentang keberadaan pura ini, bahwa para panitia pengempon pura sedang berusaha untuk mengusulkan kepada pemerintah Kabupaten Klungkung untuk pura ini segera dibuatkan Perda sebagai kawasan wisata, sebelum dijelaskan bahwa kawasan ini hanya dapat dipakai sebagai objek spiritual oleh masyarakat di Desa Karang Sari khususnya pada hari raya Galungan dan Kuningan.

Pembangunan kawasan ini terus diperbaharui untuk menambah keasrian dan pesona keindahan dari segi tata letak bangunan. Biaya yang dipergunakan di dapat dri totaldana punia yang masuk kepada panitia. Sebelum masuk ke Goa didalam sebelah kiri kita lihat ada bangunan untuk mesanekan (tempat peristirahatan) menyiapkan sesaji untuk masuk kedalam Goa, yang dilengkapi pura dengan pewaragon (dapur) kamar untuk para sulinggih. Bahkan ketika penulis mengadakan wawancara dengan pamangku disana telah dipasang telephone selular untuk memudahkan komunikasi. Ini sangat menunjang keberadaan kawasan ini untuk lebih cepat pemberian informasi dipura ini. Di goa banyak pelinggih-pelinggih sudah direhab dengan menggunakan arsitektur yang sangat bagus dari segi bahan pilihan yang kualitas baik serta bentuk-bentuk pelinggih sudah mengalami bentuk percampuran gaya Bali-India seperti adanya patung Dewi Gangga, patung Dewa Siwa, Parwati dan Ganesha versi India. Sedangkan diujing goa sudah ada jalan untuk pelepasan yang sudah ditata sedemikian rupa, telah dipersiapkan untuk kendaraan besar bisa smpai dekat goa dari belakang untuk keperluan mengangkut barang-barang keperluan upacar.

Karena letak yang strategis dan dengan alam pemandangan yang begitu indah, berada dikawasan bukit kemudian dari atas kita lihat tempat lautan yang membentang, niscaya tempat ini akan menjadi tujuan objek wisata baik dari wisatawan lokal maupun dari mancannegara. Terbukti pada era sekarang ini yang mulai dikenalkan keberadaan Pura Goa Giri Putri, orang sudah berbondong-bondong pedek tangkil ketika upacara Pemelaspas, sampai-sampai panitia kewalahan melayani umat yang datang dan juga para wisatawan.
Selain hal tersebut secara ekonomis di Pura Goa Giri Putri dengan adanya banyak sekali dana punia yang ditampung oleh panitia pengempon pura, dalam rangka upacara-upacara disana sudah barang tentu akan membeli bahan-bahan/satrana upacara-upacara di sektar daerah tersebut sehingga menambah perekonomian penduduk  di sekitarnya. Kemudian juga dalam hal pembangunan dan perehaban pelinggih juga melibatkan tukang-tukan setempat sehingga menambah lahan kerja bagi masyarakat yang melaksanakan kegiatan sebagai pertukangan, dengan demikian perekonomiannyapun disana meningkat.

Dengan demikian akan terjadi peningkatan pendapatan masyarakat  dengan berdirinya Pura Goa Giro putri ini. Peningkatan pendapatan ini terjadi dengan banyaknya kunjungan pemedek bhakta yang datang ke pura ini akan membutuhkan transportasi, dengan adanya transportasi masyarakat akan diuntungkan. Dengan adanya pemedek maka akan di butuhkan sarana dan prasarana lain seperti penginapan, rumah makan, Wc atau kamar mandi yang disediakan oleh masyarakat Karang Sari yang merupakan pendapatan baru bada masyarakat sekitarnya. Akan tumbuh dan berkembangnya fasilitas-fasilitas disekitar daerah pura itu yang akan memberikan peningkatan-peningkatan yang secara langsung pada Bendesa Adat yang pada akhirnya akan sampai pada desa pakraman.
      
 Pada saat piodalan atau hari-hari besar Goa Giri Putri selalu padat pengunjung, tetapi hari biasa (pemendek) pun goa ini selalu ramai dikunjungi orang, baik dari dalam negeri maupun manca negara. Untuk mencapai Goa Giri Putri, setiap pengunjung harus melalui 110 anak tangga. Di tempat ini sangat baik untuk bermeditasi sekaligus memohon berkah dari Dewi Kwam Im. Goa Giri Putri yang sekaligus menjadi Pura ini banyak membuat wisatawan berdecak kagum atas proses alam yang begitu indah. Salah satunya adalah Robert, wisatawan asal Belanda yang mengatakan kepada Jia Xiang Hometown, bahwa dirinya merasa damai berada di dalam goa. Dan menurutnya dia belum pernah menemukan goa seunik Goa Giri Putri yang memiliki ruangan yang sangat luas di bagian dalam goa. “Ini merupakan keajaiban” Katanya kagum.

SIMPULAN
       
Berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan dan dibahas pada bab-bab sebelumnya mengenai sejarah, fungsi dan tujuannya sebagai objek wisata spiritual pada Pura Goa Giri putri maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:  Pura Goa Giri Putri tempatnya terletak di wilayah Desa Karang Sari, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Propinsi Bali. Status Pura Goa Giri Putri adalah Pura Kahyangan Jagat. Simpulan tersebut didapat dari hasil wawancara dari narasumber. Jadi kalau dilihat dari status dan karakteristiknya Pura Goa Giri Putri ini adalah sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi Wasa dalam segala prabawa-Nya (manifestasi-Nya). Denah halaman Pura Goa Giri Pitri dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian luar goad an bagian dalam goa. Pada bagian luar gua terdapat bangunan palinggih Hyang Tri Purusa dan arca Hyang Ganapati. Sedangkan pada bagian dalam goa terdapat bangunan palinggih Hyang Wasuki, arca Dewi Gangga, pelinggih Hyang Siwa, pelinggih Hyang Giri Putri, pelinggih Hyang Siwa Parwati Ganesha, arca Dewi kwan Im, pelinggih Ratu Syah Bandar dan pelinggih Dewa Langit. Pengemong Pura Goa Giri putri ini diemong atau di empon oleh empat dusun yakni terdiri dari Dusun Karang Sari, Dusun Celagi Landan, Dusun Kelemahan dan Dusun Semaya. Dari keempat Dusun Dinas tersebut tercatat jumlah penduduk adalah 3786 jiwa. Sdangkan pemedek yang datang ke pura ini tidak hanya datang dari Desa Pakraman Karang Sari dan keempat banjarnya itu, akan tetapi banyak pemedek yang datang dari luar Desa Karang Sari, Juga dari luar Nusa Penida bahkan ada pemedek yang berasal dari luar pulau Bali dan juga dari Mancanegara. Upacara yang pernah dilaksanakan di Pura Goa Giri putri ini adalah (1) upacara Ngenteg Linggih, (2) upacara Pemlaspas Agung dan (3) upacara Puja Wali atau Piodalan yang dilaksanakan setiap Purnamaning Kelima.
       
Nilai-nilai pendidikan yang dapat diambil adalah (1) nilai pendidikan Tattwa, (2) nilai pendidikan Etika, (3) nilai pendidikan Upacara dan (4) nilai pendidikan Sosial. Nilai pendidikan Tattwa yang terdapat adalah pendidikan bersuci-suci dimana manusia diajarkan untuk meningkatkan nilai kesucian dirinya sendiri da alam, nilai pendidikan Etika yang terdapat yaitu menerapkan aspek-aspek ajatan Tri Kaya Parisuda dalam tata kelakuan untuk melakukan persembahyangan di Pura Goa Giri Putri ini, nilai pendidikan Upacara yaitu memberikan pemahaman kepada masyarakan bahwa upacara yang dilakukan merupakan pengejawantahan ajaran agama Hindu (Weda) sebagai cetusan rasa terima kasih, meningkatkan kwalitas diri, sebagai salah satu cara menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan sebagai sarana untuk menyucikan diri. Nilai pendidikan sosial  pada Pura Goa Giri Putri ini adalah dapat menumbukkan rasa kebersamaan dan persaudaraan atau yang sering disebut dengan menyame beraya, sehingga dapat tercipta kehidupan yang rukun, damai, aman dan sejahtera. 



DAFTAR PUSTAKA
Aripta Wibawa, I Made. 2006. Ayurweda. Denpasar: Bali Aga.
Buda, Jro Mangku Gede. 2007.Babad Nusa Penida. Surabaya: Paramita.
Dunia, I Nyoman. 2007. Selayang Pandang Goa Giri Putri. Surabaya: Paramita.
Karanavar, Prof. G.K. Terjemahan I Made Aripta Wibawa. 2005. Menyingkap Rahasia Siwa di Bumi (Patal Bhuaneswara). Bangli: Sudhita.
Pudja, Gede. 1999. Teologi Hindu (Brahma Widya). Surabaya: Paramita.
Singgin, I Nyoman. 1992.Melaspas Dan Ngenteg Linggih Maksud Dan Tujuannya. Yayasan Widya Santi Bangli.
Titib, I Made. 2001. Teologi & Sombol-simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya: penerbit Paramita.
Wiana, Drs. I Ketut. 1995. Yadnya Dan Bakti. Denpasar: Manik Geni.
Widana, I Gusti Ketut. 2008. Mengenal budaya Hindu Di Bali. Denpasar: Pustaka Bali post.
 (http://id.wikipedia.org./wiki/sejarah hindu bali, 2011).

2 komentar:

  1. Lengkap sekali informasi postingan tentang Pura Goa Giri Putri. Semoga semua bisa membacanya.Tirta Yatra Nusa Penida terutama ke Pura Goa Giri Putri

    BalasHapus
  2. Harus dilestarikan dan dijaga kesucian pura. banyak wisatawan yang melakukan tirta yatra nusa penida ke pura goa giri putri

    BalasHapus