Kamis, 01 Oktober 2015

Dewa Ganesh dalam Tradisi Bali




Berkaitan dengan ketuhanan dalam agama hindu, akan memunculkan berbagai pertanyaan. Pertanyaan awal yang menarik terkait dengan ketuhanan agama Hindu adalah  Apakah Tuhan Agama Hindu mempunyai wujud? Hal ini terkait dalam sistem pemujaan agama Hindu para pemeluknya membuat bangunan suci, arca (patung-patung), pratima, pralinga, mempersembahkan bhusana, sesajen dan lain-lain. Hal ini menimbulkan prasangka dan tuduhan yang bertubi-tubi dengan mengatakan umat Hindu menyembah berhala.

Agama Hindu sebagai agama tertua di dunia, setidak-tidaknya mempunyai gudang ajaran yang tidak mudah dimengerti sebagai akibat pertumbuhan dan perpaduan dari berbgai tradisi yang berkembang di berbagai wilayah yang luas tanpa terkendalikan. Beberapa perbedaan konsep dan pengertian telah berkembang sebagi akibat perbedaan cara berpikir dan cara penafsirannya atas satu pokok keimanan yang sama tentang Tuhan dan Dewa-Dewa. Oleh karena itu , menjadi satu keharusan yang tidak dapat dielakan untuk mempelajari pokok-pokok pengertian tentang Ketuhanan dan Dewa-Dewa sebagai keimanan dalam sistem penghayatan sebagaimana kita jumpai dalm berbagai ungkapan dalam Veda.


Umat Hindu percaya pada satu Tuhan (Brahman dalam Upanisad), tetapi mereka memuja dalam berbagai bentuk yang disebut dengan Dewa-Dewi. Hindu memuja banyak Tuhan (Dewa) bukanlah politheisme akan tetapi monotheistik polytheisme. Pemikiran Hindu yang monotheime adalah pengakuan tentang Tuhan yang diketahui dengan banyak cara dan dipuja dalam berbagai bentuk (Pandit.2006.43).
Agama hindu menyadari adanya perbedaan dalam pikiran manusia dan perbedaan tingkat spiritual dalam hindividu. Agama Hindu tidak mengkategorikan manusia ke dalam satu keturunan. Tuhan tidak dapat dikatakan hanya memiliki satu bentuk atau nama tertentu karena akan membatasi Kekuatannya yang pasti. Inilah mengapa Hindu memuja berbagai nama dan bentuk Tuhan. Tidak ada nama atau bentuk yang lebih baik atau lebih buruk dari yang lainnya karena semuanya itu adalah manifestasi dari Tuhan.
Dewa-dewa atau devata digambarkan dalam berbagai wujud, yang menampakkan diri sebagai yang personal, yang berpribadi dan juga yang tidak berpribadi. Yang Berpribadi dapat kita amati keterangan tentang dewa Indra, Vayu, Surya, Garutman,Ganesa, Ansa yang terbang bebas di angkasa, dan sebagainya. Sedang Yang Tidak Berpribadi, antara lain sebagai Om (Omkara/Pranava), Sat, Tat, dan lain-lain.
Dewa-Dewa merupakan manifestasi dari Tuhan atau nama lain dari Tuhan. Tuhan adalah pendukung, pengatur, pengendali seluruh jagat raya ini. Dewa-dewa adalah sinarnya Tuhan. Seperti halnya matahari dan sinarnya tidak akan bisa dipisahkan. Demikian juga antara Dewa dan Tuhan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, hanya dpat dibedakan secara teoritis. Para Dewa dapat pula dikatakan sebagai nama lain dari Tuhan pada saat Tuhan bertugas dalam suatu aspek kehidupan. Sepertihalnya pada saat Tuhan melakukan tugasnya sebagai pencipta, Beliau sangat populer disebut sebagai Dewa Brahma, demikian pula pada saat melakukan tugas sebagai pemelihara maka Beliau disebut sebagai Dewa Wisnu dan pada saat Beliau sebagai pelebur  Beliau disebut sebagai Dewa Siwa. Juga Dewa-dewa lainnya sesuai dengan fungsinya.
Dewa Ganesa adalah salah satu dewa terkenal dalam agama Hindu dan banyak dipuja oleh umat Hindu, yang memiliki gelar sebagai Dewa pengetahuan dan kecerdasan, Dewa pelindung, Dewa penolak bala/bencana dan Dewa kebijaksanaan. Lukisan dan patungnya banyak ditemukan di berbagai penjuru India; termasuk Nepal, Tibet dan Asia Tenggara. Dalam relief, patung dan lukisan, ia sering digambarkan berkepala gajah, berlengan empat dan berbadan gemuk. Ia dikenal pula dengan nama Ganapati, Winayaka dan Pilleyar. Dalam tradisi pewayangan, ia disebut Bhatara Gana, dan dianggap merupakan salah satu putera Bhatara Guru (Siwa). Berbagai sekte dalam agama Hindu memujanya tanpa memedulikan golongan. Pemujaan terhadap Ganesa amat luas hingga menjalar ke umat Jaina, Buddha, dan di luar India (Martin-Dubost, hal. 311–320).
Di bali Pemahaman terhadap Dewa Ganesha pada umumnya belum begitu diketahui oleh umat Hindu. Karena  konsep ajaran agama di Bali masih dipolitisir oleh kaum-kaum tertentu. Pemahaman aje were, yang membuat umat enggan dan takut mempelajari ajaran agama. Padahal pemahaman aje were ini sudah tidak relefan dengan keadaan jaman sekarang. Konsep inilah menyebabkan pemahaman- pemahaman terhadap Dewa-dewa tidak begitu dikenal oleh umat Hindu di Bali. 


Pemahaman secara umum Dewa Ganesha dikenal dengan nama Ganapati atau Bhetara Gana, yang diyakini fungsinya secara umum sebagai dewa ilmu pengetahuan yang banyak patungnya di tempatkan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Selain itu pemahaman konsep Dewa Ganesha dengan nama Bhetara Gana biasanya dipakai dalam pelaksanaan upacara yadnya. Yang sering digambarkan dalam bentuk gambar-gambar atau rerajahan dalam kain atau sarana-sarana upacara lainnya.
Dari pemahaman yang kurang terhadap Dewa Ganesha, sangat perlu adanya pemahaman yang utuh terhadap makna dan fungsi dari Dewa Ganesha, dalam salah satu wujud personal dari Tuhan sebagai bentuk ekspresi  bhakti kita kepada Tuhan.

Siapa Dewa Ganesha. 


Ganesha dalam deretan sejumlah dewa agama Hindu adalah termasuk dewa minor, minor dalam arti tidak sepopuler atau seagung Dewa Brahma, Wisnu dam Siwa. Ganesha termasuk dewa kecil, tapi diantara dewa minor Ganesha paling termashyur atau paling populer.
Dewa Ganesha adalah dewa yang dalam perwujudannya berbentuk manusia yang memiliki kepala gajah , berlengan empat dan berbadan gemuk. Perpaduan antara manusia dan binatang ini adalah simbol dari perlambang manusia yang sempurna, yang diungkapkan oleh para resi Hindu. Ia dikenal pula dengan nama Ganapati, Winayaka dan Pilleyar. Dalam tradisi pewayangan, ia disebut Bhatara Gana, dan dianggap merupakan salah satu putera Bhatara Guru (Siwa). Berbagai sekte dalam agama Hindu memujanya tanpa memedulikan golongan. Pemujaan terhadap Ganesa amat luas hingga menjalar ke umat Jaina, Buddha, dan di luar India.


Meskipun ia dikenal memiliki banyak atribut, kepalanya yang berbentuk gajah membuatnya mudah untuk dikenali. Ganesa mahsyur sebagai "Pengusir segala rintangan" dan lebih umum dikenal sebagai "Dewa saat memulai pekerjaan" dan "Dewa segala rintangan" (Wignesa, Wigneswara), "Pelindung seni dan ilmu pengetahuan", dan "Dewa kecerdasan dan kebijaksanaan". Ia dihormati saat memulai suatu upacara dan dipanggil sebagai pelindung/pemantau tulisan saat keperluan menulis dalam upacara. Beberapa kitab mengandung anekdot mistis yang dihubungkan dengan kelahirannya dan menjelaskan ciri-cirinya yang tertentu.
Ganesa muncul sebagai dewa tertentu dengan wujud yang khas pada abad ke-4 sampai abad ke-5 Masehi, selama periode Gupta, meskipun ia mewarisi sifat-sifat pelopornya pada zaman Weda dan pra-Weda. Ketenarannya naik dengan cepat, dan ia dimasukkan di antara lima dewa utama dalam ajaran Smarta (sebuah denominasi Hindu) pada abad ke-9. Sekte para pemujanya yang disebut Ganapatya, yang menganggap Ganesa sebagai dewa yang utama, muncul selama periode itu. Kitab utama yang didedikasikan untuk Ganesa adalah Ganesapurana, Mudgalapurana, dan Ganapati Atharwashirsa (Wikipedia. 2013).
Ganesa memiliki banyak gelar dan nama pujian, termasuk Ganapati dan Wigneswara. Gelar dalam agama Hindu yang dipakai sebagai penghormatan, yaitu Sri seringkali ditambahkan di depan namanya. Salah satu cara yang terkenal dalam memuja Ganesa adalah dengan menyanyikan Ganesa Sahasranama, sebuah doa pengucapan "seribu nama Ganesa". Setiap nama dalam sahasranama mengandung arti berbeda-beda dan melambangkan berbagai aspek dari Ganesa. Sekurang-kurangnya ada dua versi Ganesa Sahasranama; salah satu versi diambil dari Ganeshapurana, yaitu sastra Hindu untuk menghormati Ganesa.
Secara literaturkata Ganesha terdiri dari kata Gana yang berarti kelompok, species kesatuan, sedangkan Esha berarti Tuhan. Karena Om adalah Ganesha dan kata Tuhan berarti segalanya adalah Ganesha, seperti jnanagna adalah kelompok manusia atau devagna merupakan kelompok dewa. Jadi Ganesha berarti Tuhan, Om kara dan dewa dari semua alam semesta dan spesis yang meliputi tujuh loka ke atas (bhur, bhuvah, svah, maha, jana, tapa, sathya) dan tujuh loka kebawah (patala, atala, sutala, tala-tala, rasa tala, maha tala vitala) (Aripta.2003:85).
Dalam kitab Amarakosha, Ganesha memiliki delapan  nama lain yaitu : (1) Winayaka yang artinya mandiri atau bijaksana, tidak tunduk kepada siapapaun. (2) Wignaraja (sama dengan Wignesa) yang artinya : raja penghalang. (3) Dwaimatura yang artinya memiliki dua ibu yaitu Gangga dan Parwati. (4) Ganadipa (sama dengan Ganapati dan Ganesa) yang artinya penguasa katagori atau jenis, dengan kata lain yang artinya bahwa beliau itu Tuhan. (5) Ekadanta yang memiliki satu gading. (6)  Heramba, Lambodara (yang memiliki perut bak periuk, atau, secara harfiah, yang perutnya bergelayutan). (7) Gajanana yang bermuka gajah. (8) Wakratunda yang artinya sibadan besar (Krishan hal. 6. ensiklopedia bebas.2013).
Penggambaran sosok Ganesa memiliki berbagai variasi yang luas dan pola-pola berbeda yang berubah dari waktu ke waktu. Dia kadangkala digambarkan berdiri, menari, beraksi dengan gagah berani melawan para iblis, bermain bersama keluarganya sebagai anak lelaki, duduk di bawah, atau bersikap manis dalam suatu keadaan.
Biasanya Ganesa digambarkan berkepala gajah dengan perut buncit. Patungnya memiliki empat lengan, yang merupakan penggambaran utama tentang Ganesa. Dia membawa patahan gadingnya dengan tangan kanan bawah dan membawa kudapan manis, yang ia comot dengan belalainya, pada tangan kiri bawah. Pada kedua tangan yang dibelakang, Ganesa digambarkan memegang sebuah kapak atau angkusa pada tangan sebelah kanan dan sebuah jerat pada tangan sebelah kiri.
Ganesa digambarkan menunggangi atau diantar oleh seekor tikus sebagai wahana beliau. tikus juga selalu ditempatkan dekat dengan kakinya. Tikus sebagai wahana muncul pertama kali dalam kitab Matsyapurana dan kemudian dalam Brahmandapurana dan Ganesapurana, dimana Ganesa menggunakannya sebagai kendaraan hanya pada inkarnasi terakhirnya(ensiklopedia bebas.2013).
Wahana seekor tikus melambangkan ego manusia yang dapat memakan segalanya yang baik dan yang mulia dalam diri manusia. Seekor tikus yang duduk dekat dengan kaki Ganesha melambangkan bahwa manusia yang sempurna harus dapat menguasai egonya. Seekor tikus yang duduk dekat dengan makanan yang segar, tetepi tidak memakannya, memiliki arti bahwa ego yang dimurnikan dan terkontrol ddapat hidup di dunia tanpa dipengaruhi oleh godaan dunia. Tikus yag merupakan kendaraan dari Ganesha, yang menandakan bahwa seseorang itu harus dapat mengendalikan ego untuk kebijaksanaan sehingga dapat bersinar (Pandit.2006:197).
Dari berbagai masing masing nama Dewa Ganesha, Dewa ini diyakini memiliki fungsi-fungsi khusu, yang salah satunya yaitu : menurut Skanda Purana Ganesha adalah dewa penghancur halangan dan pelancar jalan dengan nama beliu adalah Ganapati atau raja para gana. Atinya kalau tidak disembah pertama kali, maka Ganesha akan menjadi penghalang dan bila di puja pertama kali, maka akan memperlancar proses perjalanan. Pemujaan Ganesha dalam hal ini juga untuk mencari berkah Tuhan untuk mencapai keberhasilan yang diinginkan dalam dunia fisik dan juga untu selanjunya mencapai kesempurnaan. Ganesha dengan nama Vinayaka yang berfungsi sebagai dewa kebijaksanaan, dewa ilmu pengetahuan. Dalam fungsi ini Ganesha membawa pustaka suci atau lontar.
Banyak kisah tentang kelahiran Dewa Ganesha Meski Ganesa terkenal sebagai putera dari Siwa dan Parwati, mitos-mitos dalam Purana memiliki ketidakpastian mengenai kelahirannya. Dia bisa saja diciptakan oleh Siwa, atau oleh Parwati, atau oleh Siwa dan Parwati, atau muncul secara misterius dan ditemukan oleh Siwa dan Parwati. Terdapat berbagai versi mengenai kelahiran Ganesa, namun kisah yang paling terkenal berasal dari kitab Siwapurana.
Dalam Vahana Purana (Debroy.2000), dinyatakan bahwa Ganesha lahir dari tertawa-Nya Siwa. Ganesha sangat ganteng, cemerlang dan agung. Parwati sangat mengagumi Ganesha. Siwa menjadi cemburu, dan akibatnya Siwa mengutuk Ganesha agar berwajah gajah.
Ganesha muncul dari wajah Dewa Siwa sebagai prinsip akasa tattwa. Ganesha sangat cemerlang dan gagah. Kecenmerlangan Ganesha yang menawan hati, menyebabkan Dewi Parwati marah, sehigga Parwati mengutuk Ganesha. Akibat kutukan itu Ganesha menjadi berkepala gajah, sehingga tidak ganteng seperti semula (Jendera. 2012:24).
Dalam Shiva Purana, dalam masa shveta varaha kalpa, dikisahkan bahwa Jaya dan Wijaya merupakan sahabat Dewi Parwati mendiskusikan tentang hasrat Dewi Parwati. Atas saran kedua sahabat tersebut, Dewi Parwati menciptakan seorang putra dari debu tubuh kosmiknya yang akan direncanakan untuk memimpin semua gana shiva. Dengan sankalpa-Nya, lahirlah seorang putra yang diberi nama Ganesha. Ia berpesan agar anak tersebut tidak mengizinkan siapapun masuk ke rumahnya selagi Dewi Parwati mandi dan hanya boleh melaksanakan perintah Dewi Parwati saja. Perintah itu dilaksanakan sang anak dengan baik.
Alkisah ketika Dewa Siwa hendak masuk ke rumahnya, ia tidak dapat masuk karena dihadang oleh anak kecil yang menjaga rumahnya. Bocah tersebut melarangnya karena ia ingin melaksanakan perintah Parwati dengan baik. Siwa menjelaskan bahwa ia suami Parwati dan rumah yang dijaga si bocah adalah rumahnya juga. Namun sang bocah tidak mau mendengarkan perintah Siwa, sesuai dengan perintah ibunya untuk tidak mendengar perintah siapapun. Akhirnya Siwa kehabisan kesabarannya dan bertarung dengan anaknya sendiri. Pertarungan amat sengit sampai akhirnya Siwa menggunakan Trisulanya dan memenggal kepala si bocah. Ketika Parwati selesai mandi, ia mendapati puteranya sudah tak bernyawa. Ia marah kepada suaminya dan menuntut agar anaknya dihidupkan kembali. Siwa sadar akan perbuatannya dan ia menyanggupi permohonan istrinya.
Atas saran Brahma, Siwa mengutus abdinya, yaitu para gana, untuk memenggal kepala makhluk apapun yang dilihatnya pertama kali yang menghadap ke utara. Ketika turun ke dunia, gana mendapati seekor gajah sedang menghadap utara. Kepala gajah itu pun dipenggal untuk mengganti kepala Ganesa. Akhirnya Ganesa dihidupkan kembali oleh Dewa Siwa dan sejak itu diberi gelar Dewa Keselamatan. Setelah Ganesha hidup kembali semua para Dewa menganugrahi semua kekuatan (budhi, shakti, siddhi) kepada Ganesha. Dan Parwati menganugrahkan sebelum memuja para dewa lainnya, Dewa ganesha harus dipuja terlebih dahulu. Dan Dewa Siwa menganugrahkan, dengan memuja Ganesha semua usaha akan mencapai keberhasilan dan semua halangan akan dilenyapkan.
Dalam Purana juga disebutkan, Ganesha turun ke dunia dalam semua zaman, antara lain disebutkan dalam Zaman Krithayuga lahir sebagai Vinayaka mahotkata, di dalam Tretayuga sebagai Mayuraswara, Dwaparayuga sebagai Gajaanana dan terakhir dalam zaman Kaliyuga akan lahir sebagai Dhumraketu (Aripta.2003.85).

Peranan Dewa Ganesha Dalam Tradisi Hindu di Bali.


Tradisi adalah sesuatu kebiasaan yang sudah berlagsung paling tidak lima puluh tahun. Ada sejumlah tradisi yang berasal dari agama Hindu dan ada juga tradisi yang tidak berasal dari agama Hindu. Sangat sulit sekali membedakan mana tradisi yang memang berasal dari agama dengan tradisi yang berasal dari kebiasaan yag identik dengan adat budaya. Tidak semua tradisi bisa eksis digunakan dalam kehidupan. Tradisi-tradisi yang dibuat berdasarkan ketentuan-ketentuan penguasa atau kepentingan-kepentingan pada jamannya, tentunya tidak bisa diberlakukan dalam jaman sekarang, dimana keadaan dan peradaban yang sudah berubah. Tradisi yang berkaitan dan bersumber dari ajaran agama patut dijaga dan selalu dijalankan karena sarat dengan nilai-nilai spiritual yang mampu memberikan pengaruh pada kesadaran kita.
Dalam tradisi agama Hindu di Bali, melaksanakan yadnya adalah salah satu kewajiban bagi umat. Salah satu bentuk yadnya adalah Dewa Yadnya, yaitu melakukan persembahan kepada para dewa atau manifestasi Tuhan. Dalam pelaksanaan upacara dewa yadnya ini, akan selalu diawali dengan pemujaan terhadap Dewa Ganesha yang sering disebut dengan istilah melaksanakan caru rsigana. Upacara rsigana ini biasanya dibarengi dengan pelaksanaan yang disebut dengan caru. Maka dalam penyebutan lebih umum sebutannya dengan caru rsigana. Padahal upacara rsigana merupakan upacara dewa yadnya, bukan bhuta yadnya yang identik dengan caru. Rsigana adalah persembahan untuk menetralisir kekuatan alam yang dapat mengganggu areal pemujaan. Dewa Gana atau Bhatara Gana  dimohon kehadiran serta anugerah-Nya untuk mengubah kekuatan Bhuta Kala, yang cenderung merusak, menjadi kekuatan welas asih, yang melindungi serta memberikan kebahagiaan.
Dalam susastra Hindu Bali yang melandasi upacara rsigana yaitu lontar Widhi Sastra dan lontar Kaputusan Rsigana, yang berbunyi :
“Iti pamarisudhaning karang angker, muwang sanggar parahyangan puseh, dalem lwirnya, caru Rsigana ngaran....,
 yang artinya
“ inilah pembersihan tanah pekarangan mempunyai aura negatif, juga tempat suci perumahan, pura Puseh, pura Dalem pembersihnya diantaranya menggunakan upacara caru, upacara Rsigana”.
Selain itu dalam lontar Pecaru, Rsigana Labuh Gentuh menyuratkan :
“ Nihan tingkahing Rsigana lwirya banten sane munggah ring sanggar tutwan, suci asoroh saruntutan sagnepnia.....”
Artinya
“ Demikian pelaksanaan upacara Rsigana diantaranya banten yang ada/ ditempatkan di sanggar surya suci 1 soroh/satu ditambah dengan perlengkapan sesajen selengkapnya....” (Dharmita. 2011).
Salah satu mantra pengastawa Sang Hyang Gana berbunyi : “Sarva visa vinasanam, kala drngga-drnggi patyam, parani rogani murcchantam, trivistapopajivanam”. Yang artinya semua racun (penyebab penyakit) menjadi netral, yang angker-angker hilang, setiap penyakit yang disentuh lenyap serta memasukkan kekuatan yang melindungi jiwa (Aripta.2003: 83). Dalam prosesi pelaksanaannya biasanya simbol Dewa Ganesha dipakai gambar yang dituangkan dalam kain putih yang sering disebut dengan rerajahan. Gambar rerajahan ini selain dilukiskan Dewa Ganesha juga dituliskan aksara-aksara suci, yang bersifat magis, yang mengandung kekuatan tertentu. Pelukisan dan penulisan ini tidak boleh dibuat oleh orang sembarangan. Biasanya orang yang sudah di diksa atau di dui jati yang mampu melukiskan dan menuliskan. Karena orang yang sudah di diksa menggambarkan suatu bentuk kesucian, yang mana beliau sudah memiliki kemampuan lebih dari orang lain, yang mampu menghidupkan dari kekuatan-kekuatan gambar dan tulisan-tulisan aksara suci tersebut. Dari perpaduan semua unsur, baik sarana-sarana yang dipakai yang berupa bentuk-bentuk simbul banten, simbul gambar berupa rerajahan, mantara dan konsentarasi pikiran yang dilantunkan dan direnungkan oleh pendeta dan suara dari genta akan mampu menarik kekuatan energi Dewa Ganesha untuk menyucikan, menjaga dan menetralisir dari pelaksanaan yadnya yang akan dilaksanakan.
Dalam upacara rsigana ini kita dapat melihat, peran bagi Dewa Ganesha dalam nama beliau Ganapati yaitu sebagai pemimpin dari pada gana, guna menetralisir dari kekuatan atau energi-energi negatif menjadi energi positif. Yang tujuannya untuk membantu didalam melancarkan pelaksanaan yadnya yang akan dilaksanakan.
Berkaitan dengan fungsi Dewa Ganesha sebagai menjaga dan menetralisir energi negatif, pada hari-hari tertentu bila terjadi kejadian-kejadian yang luar biasa seperti gempa bumi, penyakit yang merajalela dan lain sebagainya, biasanya desa adat di wilayah tertentu mengadakan sejenis pecaruan untuk menetralisir atau menyeimbangkan alam yang tidak stabil ini. Dalam upacara ini dilakukan di setiap rumah-rumah penduduk. Pelaksanaan upacara dimasing-masing rumah penduduk ini, ada sarana yang dipakai yaitu menancapkan sanggah cucuk yang berisi gambar atau rerajahan Dewa Ganesha di depan pintu masuk rumah.
Dalam simbul rerajahan penggambaran Dewa Ganesha di Bali agak berbeda dengan penggambaran menurut Purana yang sudah dijelaskan diatas. Di Bali di dalam rerajahannya Dewa Ganesha hanya dengan dua tangan. Tangan kanan membawa senjata dandha dan tangan kiri membawa senjata genta. Yang bermakna simbolik sebagai seorang Rsi Siwa dan Bhuda niskala yang siap melakukan pengeruatan seisi buana agung dan bhuana alit untuk mencapai keseimbangan dan keharminisan alam. Penggambaran ini ditemukan dalam lontar Korawasrama, yaitu sanghyang vigana sebagai seorang wiku (pendeta) yang bertugas melukat (meruat) manusia yang penuh dengan hawanapsu (Dhrmita. 2011). Mengenai penggambaran Dewa Ganesha ini memang tidak salah, karena didalam purana disebutkan Dewa Ganesha di anugrahi oleh semua para dewa, jadi semua senjata para-para dewa dibawa oleh Dewa Ganesha.
Dalam tradisi orang Bali juga hampir semua masyarakat Hindu di Bali membangun pelinggih penungun karang. Ini sangat diyakini sebagai media spirit yang mampu menjaga serta memberikan keselamatan kesejahteraan dan kedamaian rumah atau yang berada disekeliling rumah atau pekarangan. Konsep dewa sebagai penjaga dalam pemahaman orang bali identik dengan sesuatu kekuatan yang gaib dan besar. Yang diidentikkan dengan nama Jero Gede, Jero Nyoman dan sebagainya. Pemahaman ini mengidentikkan dengan adanya roh-roh yang berstana di panungunkarang yang diyakini mampu menjaga pekarangan rumah. Ganapati sebagai pemimpin para gana tentunya mempunyai wewenang dalam penguasaan para roh-roh gana. Jadi atas ijin dan kuasa dari Dewa Ganesha sebagai Ganapati, roh-roh sebagai penjaga di penungunkarang melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai penjaga pekaranggan rumah. Artinya secara tidak langsung umat Hindu di Bali lewat pelinggih penungunkarang, kita memuja Dewa Ganesha sebagai Ganapati selaku pemimpin para gana dan sebagai Vighneswara selaku penghancur segala halangan.
Tradisi pelaksanaan potong gigi (mapandes) di Bali yang biasanya dilakukan setelah kita naik dewasa (nutug kelih) adalah tradisi yang muncul dari kisah pematahan taring Dewa Ganesha untuk menulis Veda yang disuruh oleh Maha Rsi Vyasa. Yang diceritakan karena wahyunya yang diterima oleh Rsi Vyasa sudah turun, dan Ganesha tidak membawa alat tulis, maka Ganesha mematahkan taringnya untuk menulis. Cerita ini bermagsud menyimbulkan bahwa bila seeorang ingin menguasai Veda, kendalikanlah mulutmu yang bertaring itu. Taring yang galak dipatahkan, sebab di antara panca indra mulut bisa mempunyai dua kesalahan. Salah makan pertama dan salah bicara yang kedua.
Dalam ceritera yang lain, pada waktu Ganesha berperang melawan raksasa Nilarudraka, Ganesha mematahkan taringnya dipakai sebagai senjata untuk mengalahkan Nilarudraka. Artinya simbul itu mengandung magsud bahwa seseorang bila ingin mengalahkan musuh-musuh kita yang sakti seperti Nilarudraka, maka kendalikanlah mulut kita. Karena mulut yang menyebabkan bertemu musuh dan mulut yang menyebabkan bertemu teman.
Dari filosofi ke dua ceritera diatas, seseorang kalau ingin mengalahkan musuh dan menguasai ajaran Veda, kendalikanlah mulut yang bertaring itu. Upacara potong gigi yang dilaksanakan menjelang dewasa, saat puber, karena saat itu, situasi kejiwaan sedang labil, goyah, maka diadakan upacara potong gigi, agar bicaranya lebih terkendali mulutnya baik sewaktu makan maupun sewaktu bicara. Jadi tradisi potong gigi yang dilaksanakan di Bali, mencerminkan pengabdosian filosofi dari ceritra Ganesha.
Taradisi di pura-pura, juga di sejumlah rumah-rumah penduduk, banyak yang memasang patung Ganesha di depan pintu masuk (aling-aling). Kebiasaan ini hampir menjadi tradisi yang baik sekali di Bali. Karena masyarakat sudah mulai tahu peran dari Dewa Ganesha sebagai penjaga rumah atau penghancur halangan. Tradisi ini merupakan hanya sebagai penekanan dan memperkuat keyakinan dari fungsi pembangunan panungunkarang.
Tradisi di pura yang disebut purwa daksina, yaitu mengelilingi pura atau tempat suci dalam pelaksanaan yadnya adalah berasal dari kehidupan Ganesha. Dari kisah Ganesha dan Kumara adiknya Ganesha yang keduanya mau kawin. Dari permohonan ke dua putranya ini Dewa Siwa ayahnya menjadi bingung. Maka lalu Dewa Siwa memutuskan mengadakan sayembaran. Siapa yang lebih dulu mengelilingi jagat raya ini, maka dia akan lebih dulu dikawinkan. Dewa Kumara yang mempunyai wahana burung merak, dengan tangkas terbang mengelilingi dunia. Dan Ganesha dengan kendaraan seekor tikus kecil. Karena Ganesha adalah dewa ilmu pengetahuan, Ia berpikir cerdas, lalu Ganesha menyuruh kedua orang tuanya duduk berdampingan, lalu Ganesha denagn cepat mengelilingi kedua orang tuannya. Dan Ganesha menyatakan dirinya menang dalam perlombaan. Hal itu dibenarkan oleh Dewa Siwa dan Parwati, lalu Ganesha dikawinkan dengan Siddhi dan Rddhi.
Tradisi didalam kehamilan tidak diperbolehkan untuk berpikir yang tidak baik, melihat yang tidak baik dan mendengar yang tidak baik, ini merupakan suatu tradisi mitos, yang dikaitkan dengan kelahiran Dewa Ganesha. Yang dikisahkan pada waktu Parwati hamil besar, lalu Indra datang menengok dengan mengendarai wahana-Nya Gajah Airawata. Pada waktu melihat gajah Parwati terkejut dan lahir putranya berkepala gajah. Jadi ceritera ini sebagai gambaran apapun yang selalu dipikirkan dalam waktu seorang ibu hamil, akan berpengaruh terhadap cabang bayi pada kandungan ibu.
Dewa Ganesha yang dilambangkan sebagai dewa ilmu pengetahuan, perwujudannya atau patungnya banyak dijumpai di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Tradisi ini sudah lama diyakini oleh masyarakat Hindu di Bali. Tapi pemujaan khusus terhadap patung atau arca Dewa Ganesha belum pernah saya lihat. Penempatan patung-patung Ganesha hanyalah sebatas simbolik, tanpa adanya ritual khusus yang mengacu pada Veda. Dan kadang-kadang hanya sebagai pelengkap dan ada sebagai seni. Ini menandakan kurang pahamnya massyarakat secara menyeluruh terhadap mitologi keberadaan Dewa Ganesha.
Selain cerminan pemahaman Dewa Ganesha yang dikaitkan dengan pelaksanaan dalam taradisi dalam keagamaan dan pengetahuan dalam masyarakat Bali, penggambaran Dewa Ganesha banya dituangkan atau ditulis dalam kesusastraan lontar-lontar yang ada di Bali. Seperti dalam lontar Ganapati Tattwa mengisahkan bagaimana percakapan Dewa Siwa dengan putranya yaitu Ganesha atau Ganapati. Dalam Ganapati Tattwa Ganesa atau Ganapati bisa dipuja untuk kepentingan pengelukatan. Tata cara upacara beserta mantram yang diucapkan oleh pemimpin ritual yang menyelenggarakan pengelukatan Ganapati, adalah sama dengan pelaksanaan ritual pengendalian hama dan penyakit tanaman maupun manusia. Masyarakat Hindu di Bali mengenal upacara ngelukat atau melukat., yakni ritual pembersihan diri secara lahir dan bhatin atau sekala dan niskala. Upacara ini disebut melukat karena di dalamnya menggunakan tirtha atau air suci pangelukatan yang khusus dibuat untuk tujuan tersebut (Pudja. 1999 : 90).
Simpulan
Dewa Ganesha adalah dewa Hindu yang dalam patung dan gambarnya yang terkenal dan dilambangkan dengan bentuk manusia yang memiliki kepala gajah. Dewa Ganesha dalam kedudukannya merupakan dewa-dewa minor. Akan tetapi kedudukan-Nya itu sangat terbalik dengan peran atau fungsi-Nya, karena Dewa Ganesha sangat dihormati dan merupakan dewata Mahakuasa. Umat Hindu yang memuja Dewa Ganesha adalah untuk memohon berkah Tuhan agar dapat mencapai keberhasilan dalam dunia fisik untuk selanjutnya mencapai kesempurnaan. Dewa Ganesha adalah dewa yang harus terlebih dahulu dipuja sebelum melakukan pemujaan kepada dewa atau dewi lain atau perayaan lainnya.
Keberadaan Dewa Ganesha di Bali memang agak berbeda terutama dari penggambarannya. Dewa Ganesha di Bali lebih dikenal dengan nama Bhatara Gana atau Ganapati. Secara fungsi Dewa Ganesha difungsikan sebagai penetralisir para bhuta dan sebagai lambang dewa ilmu pengetahuan. Banyak tradisi di Bali yang terinspirasi dan bersumber dari kisah dan ajaran dari kehidupan Dewa Ganesha. Tradisi ini merupakan suatu bentuk pengartian dari kisah-kisah kehidupan Dewa Ganesha yang memiliki nilai etika dan spiritual yang tinggi. Tradisi ini diyakini merupakan bagian dari bentuk pelaksanaan ajaran agama Hindu di Bali.  

DAFTAR PUSTAKA

Atmadja, Nengah Bawa. 1999. Ganesa sebagai Avighnesvara, Vinayaka dan Pengelukatan : Penerbit PT Paramita Surabaya.

Aripta Wibawa. 2003. Butir Butir Reformasi Hindu Ke Depan: Percetakan Deva.

Bansi Pandit. 2006. Pemikiran Hindu Pokok-Pokok pikiran Agama Hindu Dan Filsafat: Penerbit PT Paramita Surabaya.

Jendra, I Wayan . 2012. Ganesha dan Kaitannya Dengan Tradisi di Bali: Penerbit Sairamadas Denpasar.

Jendra, I Wayan . 2008. Tuhan Sudah Mati ? Untuk Apa Sembahyang : Penerbit PT Paramita Surabaya.

Siwa Budha Dhaksa Dharmita, Ida Pandita Mpu. 2011. Filsafat Rsigana Penciptaan Dunia Alam Semesta : Penerbit PT Paramita Surabaya.

2 komentar:

  1. Betway Group - 머니 토토토토토토토 바카라사이트 바카라사이트 메리트카지노총판 메리트카지노총판 우리카지노 쿠폰 우리카지노 쿠폰 온라인카지노 온라인카지노 カジノ シークレット カジノ シークレット 바카라사이트 바카라사이트 dafabet dafabet 91 Jackpot City Casino Online Casino – Review and Bonus

    BalasHapus