Minggu, 04 Oktober 2015

Ajaran Shiva dalam Siwa Sesana di Bali




Agama merupakan pandangan hidup dan kepercayaan yang sifatnya absolut dan tidak dapat diperdebatkan. Agama merupakan wahyu yang diturunkan oleh Tuhan yang berisikan pedoman bagi manusia dalam berpikir, berkata maupun bertingkah laku, atau dengan kata lain agama merupakan the way of live. Didalam mempelajari tentang Ketuhanan sebagaimana diungkapkan dalam kitab Brahma Sutra I.1.1.,merupakan hal yang amat penting dan perlu karena dengan mengenal TUHAN secara tepat dan baik, dinyatakan sebagai jalan yang dapat mengantar manusia kepada jalan kesempurnaan sampai kepada moksa atau nirvana. Surga dan neraka, moksa dan samsara mempunyai arti dan hubungan yang erat sekali dengan ajaran Ketuhanan baik dalam penghayatan maupun pengamalannya (Gede Pudja, 1999 ;1).
      Ajaran Siva/Saiva merupakan satu cabang dari agama, dimana gambaran perbedaannya adalah pemujaan bentuk phalus dari Siva. Saiva sebagai satu agama telah ada sejak jaman pra sejarah, terbukti dari hasil penggalian arkeologi yang di temukan di Harappa dan mahenjodaro dan memiliki sejarah yang berlanjut paling kurang 5.000 tahun lamanya. Simbul phallus dari Siva seperti yang diketemukan pada reruntuhan peradaban lembah sungai Indus, yang bahkan hingga saat ini merupaka objek pemujaan diantara para pengikut aliran Saiva, yang merupakan keyakinan hidup di seluruh bagian India (I Wayan Maswinara, 2006 : 213).

      Didalam penelitian arkeologi telah menemukan benda-benda yang menyerupai phalus dan dasar/pondasinya yang dikenal dengan nama yoni yang menyangga dari phalus tersebut, dipercaya sebagai lambang atau simbol dari purusa dan pradana (laki-laki dan perempuan) yang merupakan awal dari suatu ciptaan. Dari penemuan tersebut membawa suatu kesimpulan bahwa pada jaman itu telah terdapat suatu bentuk kepercayaan yang merupakan pemujaan dari Siva dan saktinya dalam bentuk lingga dan yoni sebagai lambang dari manifestasinya.
      Tuhan sang pencipta disimbolkan sebagai lingga dan yoni yaitu merupakan sebuah awal dari terciptanya alam semesta yang artinya dengan kekuatan dari Shakti, Siva menciptakan dunia dengan segala isinya. Tanpa adanya Shakti, Siva tidak akan menjadi lengkap karena tujuan pada penciptaan manusia yaitu laki-laki sempurna seperti Siva itu sendiri dan wanita sempurna seperti Shakti.
      Kata Siva berarti yang memberi keberuntungan (kerahayuan), yang baik hati, ramah, suka memaafkan, menyenangkan, memberi banyak harapan, yang tenang, membahagiakan dan sejenisnya. Sang Hyang Siva didalam menggerakan hukum kemahakuasaan-Nya didukung oleh Sakti-Nya yaitu Durga atau parwati. Hyang Siva adalah Tuhan yang Maha Esa sebagai pelebur kembali (aspek pralaya dan pralina dari alam semesta dan segala isinya). Siva yang sangat ditakuti disebut Rudra (yang suaranya menggelegar dan menakutkan). Siva yang belum kena pengaruh Maya (berbagai sifat seperti Guna, Sakti dan svabhava) disebut dengan Parama Siva, dalam keadaan ini, disebut juga Acintyarupa atau Niskala dan Tidak berwujud atau Impersonal God (I Made Titib,2004:213).
      Kata Saiva berasal dari ajaran yang memuja dewa Siva sebagai dewa yang utama, berarti sekte Saiva adalah kelompok atau kumpulan orang-orang yang memuja serta menempatkan Dewa Siva pada tempat yang utama. Jadi Saiva adalah ajaran untuk memcapai jalan menuju kepada Sang Pencipta, atau suatu jalan untuk bersatu dengan Sang Pencipta yang berasal dari sekte Saiva. Dalam Saiva Siddhanta menyebutkan alam dunia berasal dari Maya ( materi yang tidak murni, potensi alam semesta), yang merupakan kesatuan nyata  yang abadi, diakui sebagai nyata adanya. Saiva Siddhanta juga diartikan sebagai Kebenaran dari Kebenaran, karena Saiva siddhanta terdiri atas kata “Saiwa  yang berarti berkaitan dengan Siva atau Kebenaran dan kata “Siddhanta” berarti kesimpulan akhir. Dengan demikian Saiva Siddhanta berarti “Kebenaran dari Kebenaran”, karena ia sebagai sistem dari filsafat kebenaran, karena yang didapat didalam sistem ini merupakan suatu kebenaran akhir yang tidak perlu lagi dipertanyakan (Drs. Gde Sara Sastra, M.Si.,2008:192).
      Ajaran agama Hindu di Bali tampak sangat berbeda dengan ajaran agama Hindu yang ada diluar Bali. Meskipun demikian, secara filsafat Hindu di Bali memang tidak berbeda dengan Hindu di luar Bali yang mendasarkan diri pada Panca Sraddha yaitu : percaya dengan adanya Tuhan, percaya dengan adanya Atma, percaya dengan adanya Hukum Karma Phala, percaya dengan adanya Reingkarnasi dan percaya dengan adanya Moksa/Nirvana.
      Didalam perkembangan ajaran Siva di Bali tidak terlepas dari sejarah perkembangan agama Hindu di Indonesia  dan demikian juga merupakan kelanjutan dari perkembangan agama Hindu di India. Sejarah perkembangan agama Hindu di Bali diduga mendapat pengaruh dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Masuknya agama Hindu di Bali diperkirakan  sebelum abad ke-8 Masehi, karena terbukti berupa gambar dan cerita yang dipahat pada prasasti yang ditemukan didesa Pejeng, Gianyar yang berbahasa Sanskerta. Bila ditinjau dari bentuk huruf diduga sejaman dengan  meterai tanah liat yang memuat mantra Buddha yamg dikenal dengan “Ye te mantra”, dan diperkirakan berasal dari tahun 778 Masehi. pada baris pertama dalam prasasti tersebut menyebutkan kata  Sivas” yang oleh para ahli yaitu Dr. R Goris menduga Sampradaya atau Sekte (http://id.wikipedia.org./wiki/sejarah hindu bali,2011).
      Ajaran Siva Siddhanta sudah berkembang di Bali. berkembangnya ajaran agama yang dianut oleh masyarakat tentunya melalui proses yang cukup panjang, dan  dapat dikatakan Hindu Sekte Siva Siddhanta sudah masuk secara perlahan-perlahan hingga abad ke-8 Masehi.
      Dari rentetan penggambaran itulah pemujaan dan penghormatan terhadap ajaran Siva di Bali masih tetap kental dan terpelirara hingga saat ini. Terbukti dengan adanya tatanan-tatanan  Sesana yang ada pada para Rsi Bujangga Waisnawa yang ada di Bali dalam kedekatannya dengan konsep Siwa Sesana. Seseorang yang akan menuju  menjadi seorang Dwijadi/lahir untuk yang kedua kalinya dari warga Bujangga Waisnawa, yang telah berjalan dari sejak jaman dahulu dan sampai kini masih tetap di jaga dan di budayakan sehingga menjadi warisan leluhur  yang selalu dihormati.


Ajaran Filsafat Siwa



      Didalam ajaran Hindu Siva adalah salah satu dari tiga dewa utama (Tri Murti) dalam agama Hindu. Kedua dewa lainnya adalah Brahma dan Wisnu. Dalam ajaran agama Hindu, Dewa Siva adalah dewa pelebur, bertugas melebur segala sesuatu yang sudah usang dan tidak layak berada di dunia fana lagi sehingga harus dikembalikan kepada asalnya.
      Tidak terbilang jumlahnya umat Hindu di seluruh dunia memuja Sang Hyang Siva dan mereka mengikuti berbagai cara untuk memuja-Nya. Mereka ada yang memuja dengan mengikuti tata cara kitab suci Veda dan ada juga yang tidak, seperti juga berbentuk yang Sattvik dan juga yang lain. Bentuk pemujaan yang tertua disebut Parasupadam (pasupatam). Hal ini dipercaya bahwa Parasupadam suatu hari menghormati dan pada kesempatan yang lain menentang kitab suci Veda (I Made Titib, 2001: 262).
      Sivaisme yang berkembang di India, merupakan asal mula dari agama Hindu. Berawal dari kelahiran dan perkembangan paham Sivaisme di daerah Jammu dan Kashmir, di sekitar pegunungan Himalaya (Parwata Kailasa). Di wilayah Jammu dan Kashmir, terdapat lembah sungai Sindhu. Di lembah inilah cikal bakal kehadiran paham Siwaisme pertama kali di India, dan berkembang pesat ke seluruh India, dan wilayah diluar India, salah satunya adalah Indonesia.
      Umat Hindu khususnya  umat Hindu di India meyakini bahwa  Dewa Siva memiliki cirri-ciri khusus yang sesuai dengan karakternya yaitu : bertangan empat masing-masing membawa Trisula, Cemara, Tasbih/Genetri, Kendi, bermata Tiga (Tri Netra), pada hiasan kepalanya terdapat Ardha Chandra (Bulan Sabit), ikat pinggang dari kulit harimau, hiasan di leher dari ular Kobra, kendaraannya yaitu lembu yang bernama Nandini.
      Penemuan barang-barang yang menunjang pendapat  yang dinyatakan oleh Mr. R.D. Banerji tentang sebuah bejana atau tangki air yang diperlengkapi dengan saluran yang sempit dan tertutup, yang diketemukan diharappa dan Mahenjodaro, yang dipergunakan sebagai “Caranamrtakunda” yaitu suatu tempat penyimpanan air suci yang dipergunakan untuk mencuci (memandikan) patung-patung yang disakralkan, karena sampai sekarang tangki semacam itu merupakan suatu gambaran umum dari kuil-kuil Siva.
      Apabila kita menileh sejenak pada sejarah awal dari India, kita akan mendapatkan bahwa banyak raja dan anggota kerajaan menghormati Siva yang bahkan hingga sekarang masih tetap berdiri tegak. Kuil Pasupati di Nepal telah ada sejak Asoka mengunjungi  lembah tersebut pada tahun  50 sebelum Masehi dan putrinya yang bernama Carumati, yang menemaninya tetapi tetap tinggal disana ketika ayahnya kembali, mendirikan sebuah biara wanita dibagian utara dari Pasupatinatha tersebut. Asoka sendiri adalah seorang raja yang memuja Siva pada awal kehidupannya dan Jalauka, Swalah seorang putra dari raja Asoka yang merupakan seorang raja Kasmir yang kuat dan aktif, bermusuhan dengan Buddhisme dan merupakan pemuja Siva. Ia beserta permaisurinya Isanadevi, banyak mendirikan kuil-kuil Siva, yang salah satu dinamakan “Asokesvara” (I Wayan Maswinara, 2006:214).
      Dalam perkembangan lebih lanjut pada jaman dimana bermunculan ajaran-ajaran di India, maka munculah aliran-aliran yang disebut paksa atau sekte dalam agama Hindu, antara lain sekta Saiva, sekte Waisnawa, sekta Brahma, sekta Tantrayana dan lain-lain. Sekta Saiva ialah memuja dewa Siva sebagai suatu tokoh yang paling utama, sekta Waisnawa yatitu memuja dewa Wisnu sebagai satu-satunya tokoh yang paling utama, sekta Brahma yaitu memuja dewa Brahma sebagai tokoh yang paling utama dan sekte Tantrayana memusatkan pemujaan pada Dewi Durga. Tiga dewa yaitu Brahma, Wisnu dan Siva dipuja secara horizontal, sebagai dewa Tri Murti yang merupakan manifestasi dari Tuhan yang Maha Esa/Ida Shang Hyang Widhi Wasa.
Inti sari dari paham Saiva adalah Saiva sebagai realitas tertinggi,  jiwa atau roh pribadi adalah intisari yang sama dengan Saiva, walaupun tidak identik. Juga ada Pati (Tuhan), pacea (pengikat), serta beberapa ajaran yang tersurat dalam tattva sebagai prinsip dalam kesemestaan yang realita. Sivaisme dalam paksha Saiva Siddhanta sangat taat dengan inti ajaran Vedanta.
Didalam ajaran filsafat Siva, dikenal Lingga sebagai lambang Dewa Siva atau Tuhan Siva yang pada hakekatnya mempunyai arti, peranan dan fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat lampau dan di masa sekarang, khususnya bagi umat manusia yang beragama Hindu. Hal ini terbukti bahwasanya peninggalan lingga sampai saat ini pada umumnya di Bali kebanyakan terdapat di tempat-tempat suci seperti pada pura-pura kuno. Bahkan ada juga ditemukan pada goa-goa yang sampai sekarang masih tetap dihormati dan disucikan oleh masyarakat setempat. Di Indonesia khususnya Bali, walaupun ditemukan peninggalan lingga dalam jumlah yang banyak, akan tetapi masyarakat masih ada yang belum memahami arti lingga yang sebenarnya. Untuk memberikan penjelasan tentang pengertian lingga secara umum maka di dalam uraian ini akan membahas pengertian lingga, yang sudah tentu bersifat umum.
Lingga berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tanda, ciri, isyarat, sifat khas, bukti, keterangan, petunjuk, lambang kemaluan laki-laki terutama lingga Siva dalam bentuk tiang batu, Patung Dewa, titik tuju pemujaan, titik pusat, pusat, poros, sumbu. sedangkan pengertian yang umum ditemukan dalam Bahasa Bali, bahwa lingga diidentikkan dengan : linggih, yang artinya tempat duduk, pengertian ini tidak jauh menyimpang dari pandangan umat beragama Hindu di Bali, dikatakan bahwa lingga sebagai linggih Dewa Siva. Petunjuk tertua mengenai lingga terdapat pada ajaran tentang Rudra Siva telah terdapat dihampir semua kitab suci agama Hindu, malah dalam berbagai penelitian umat oleh arkeolog dunia diketahui bahwa konsep tentang Siva telah terdapat dalam peradaban Harappa yang merupakan peradaban pra-Veda dengan ditemuinya suatu prototif tri mukha yogiswara pasupati Urdhalingga Siva pada peradaban Harappa. (Agastia, 2002 : 2)
Kemudian pada peradaban lembah Hindus bahwa menurut paham Hindu, lingga merupakan lambang kesuburan. Perkembangan selanjutnya pemujaan terhadap lingga sebagai simbol Dewa Siva terdapat di pusat candi di Chennittalai pada sebuah desa di Travancore, menurut anggapan orang Hindu di India pada umumnya pemujaan kepada lingga dilanjutkan kepada Dewa Siva dan saktinya.
Mengenai pemujaan lingga di Indonesia, yang tertua dijumpai pada prasasti Canggal di Jawa Tengah yang berangka tahun 732 M ditulis dengan huruf pallawa dan digubah dalam bahasa Sansekerta yang indah sekali. Isinya terutama adalah memperingati didirikannya sebuah lingga (lambang Siva) di atas sebuah bukit di daerah Kunjarakunja oleh raja Sanjaya.
Dengan didirikannya sebuah lingga sebagai tempat pemujaan, sedangkan lingga adalah lambang untuk dewa Siva, maka semenjak prasasti Canggal itulah mulai dikenal sekte Siva (Sivaisme) pemerintahan Gajayana di Kanjuruhan, Jawa Timur. Hal tersebut tercantum dalam prasasti Dinoyo yang berangka tahun 760 M isi prasasti ini antara lain menyebutkan bahwa raja Gajayana mendirikan sebuah tempat pemujaan Dewa Agastya. Bangunan suci yang dihubungkan dengan prasasti tersebut adalah candi Badut yang terdapat di desa Kejuron. Dalam candi itu ternyata bukan arca Agastya yang ditemukan melainkan sebuah lingga. Maka disini mungkin sekali lingga merupakan Lambang Agastya yang memang selalu digambarkan dalam Sinar Mahaguru. (Soekmono. 1973 : 41-42).  Hal ini terlihat pula dari isi prasasti tersebut dimana bait-baitnya paling banyak memuat/berisi doa-doa untuk Dewa Siva.
Petunjuk yang lebih jelas lagi mengenai lingga terdapat pada kitab Lingga Purana dan Sivaratri Kalpa karya Mpu Tanakung. Di dalam lingga purana disebutkan sebagai berikut:
”Pradhanam prartim tatca ya dahurlingamuttaman. Gandhawarna rasairhinam sabdasparsadi warjitam”.
Artinya:
Lingga awal yang mula-mula tanpa bau, warna, rasa, pendengaran dan sebagainya dikatakan sebagai prakrti (alam).

Dalam Lingga Purana, lingga merupakan tanda pembedaan yang erat kaitannya dengan konsep pencipta alam semesta wujud alam semesta yang tak terhingga ini merupakan sebuah lingga dan kemaha-kuasaan Tuhan. Lingga pada Lingga Purana adalah simbol Dewa Siva (Siva lingga). Semua wujud diresapi oleh Dewa Siwa dan setiap wujud adalah lingga dan Dewa Siva. Kemudian di dalam Sivaratri kalpa disebutkan sebagai berikut:”Bhatara Siwalingga kurala sirarcanam I dalem ikang suralaya”.Artinya: Selalu memuja Hyang Siva dalam perwujudan-Nya “Sivalingga” yang bersemayam di alam Siva.
Ada berbagai macam bentuk dan bagian-bagian dari Lingga diantaranya yaitu Berdasarkan penelitian dan TA. Gopinatha Rao, yang terangkum dalam bukunya berjudul “Elements Of Hindu Iconografi Vol. II part 1” di sini beliau mengatakan bahwa berdasarkan jenisnya Lingga dapat dikelompokkan atas dua bagian antara lain Chalalingga dan Achalalingga.Chalalingga adalah lingga-lingga yang dapat bergerak, artinya lingga itu dapat dipindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa mengurangi suatu arti yang terkandung. Adapun yang termasuk dalam kelompok lingga ini adalah:
a. Mrinmaya Lingga yaitu merupakan suatu lingga yang dibuat dari tanah liat, baik yang sudah dibakar. Dalam kitab Kamikagama dijelaskan bahwa pembuatan lingga ini berasal dari tanah liat putih dan tempat yang bersih. Proses pengolahannya adalah tanah dicampur susu, tepung, gandum, serbuk cendana, menjadi adonan setelah beberapa lama disimpan lalu dibentuk sesuai dalam kitab agama.
b. Lohaja LinggaYaitu suatu lingga yang terbuat dari jenis logam, seperti : emas, perak, tembaga, logam besi, timah dan kuningan.
c. Ratmaja LinggaYaitu lingga yang terbuat dan jenis batu-batuan yang berharga seperti, permata, mutiara, kristal, jamrud, waidurya, kwarsa
d. Daruja LinggaYaitu lingga yang terbuat dari bahan kayu seperti kayu sami, tinduka, karnikara, madhuka, arjuna, pippala dan udumbara. Dalam kitab Kamikagama disebutkan juga jenis kayu yang digunakan yaitu khadira, chandana, sala, bilva, badara, dan dewadara.
e. Kshanika LinggaYaitu lingga yang dibuat untuk sementara jenis-jenis lingga ini dibuat dari saikatam, beras, nasi, tanah pekat, rumput kurcha, janggery dan tepung, bunga dan rudrasha. Sedangkan yang dimaksud dengan Achala lingga, lingga yang tidak dapat dipindah-pindahkan seperti gunung sebagai linggih Dewa-Dewi dan Bhatara-Bhatari. Di samping itu pula lingga ini biasanya berbentuk batu besar dan berat yang sulit untuk dipindahkan. I Gusti Agung Gde Putra dalam bukunya berjudul : “Cudamani, kumpulan kuliah-kuliah agama jilid I”, menjelaskan bagian lingga atas bahan yang digunakan. Beliau mengatakan lingga yang dibuat dari barang-barang mulia seperti permata tersebut Spathika lingga, lingga yang dibuat dari emas disebut Kanaka lingga dan bahkan ada pula dibuat dari tahi sapi dengan susu disebut Homaya lingga, lingga yang dibuat dari bahan banten disebut Dewa-Dewi, lingga yang biasa kita jumpai di Indonesia dari di Bali khususnya adalah Linggapala yaitu lingga terbuat dari batu.
Jadi lingga merupakan simbol Siwa yang selalu dipuja untuk memuja alam Siva. Kitab Lingga Purana dan Sivaratri Kalpa karya Mpu Tanakung ini semakin memperkuat kenyataan bahwa pada mulanya pemujaan terhadap lingga pada hakekatnya merupakan pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam wujudnya sebagai Siwa.
Didalam filsafat Siva/Saiwa juga menekankan tentang pemujaan kepada Siva itu sendiri melalui hari-hari suci seperti pada malam pemujaan Siva atau yang dikenal dengan Sivaratri yaitu dimana dalam Siva Purana dijelaskan bahwa Ia mengumumkan bahwa hari-hari tertentu akan diingat selamanya sebagai Siwaratri (malam Siva). Pada hari itu, siapapun yang memuja-Ny dan juga berpuasa serta jagarana/bergadang akan mendapatkan pahala yang setara dengan pemujaan biasayang dilakukan dalam setahun. Hari itu adalah hari bagi Pratisthana (pengukuhan) Lingga Siva dan merayakan Siva kalyana, untuk membangun kuil/tempat suci. Hari keempat belas, bulan Margashira dibawah naungan bintang Arudra akan sangat baik untuk memuja Siva. Tempat dimana Siva berubah wujud menjadi sebuah lingam api dan cahaya akan dikenal dengan nama Lingastana/tempat linga. Tempat api itu menyala juga akan menjadi Linga Siva. Tempat dari mana api itu keluat atau berkobar akan disebut dengan Arunacala yang berarti gunung merah. Yang akan merupakan peziarah terkemuka diantara Kshetra Siva. Bagi mereka yang memuja Siva, tentu akan mendapatkan tempat di Siwaloka yaitu alam kedekatan dan penyatuan dengan Siva.
Mereka yang memasang Lingga Siva akan tinggal  di Kailasa seperti Siva sendiri. Hal yang paling banyak mendatangkan pahala adalah memasang Lingga Siva, ini disebut dengan Pratisthana. Jika kita memiliki Lingga, maka patungnya pun bisa dipasang, dan tempat dimana patung itu dipasang akan menjadi Siva Kshetra (Dr. V.V.B Rao, 2008:13).

Siva Sesana Umat Hindu Di Bali

Belum dapat dipastikan, kapan agama Hindu dan ajarannya muncul di Indonesia. Demikian pula siapa yang membawa agama Hindu ke Indonesia, belum diketahui secara jelas. Dari data-data yang sementara memberi gambaran bahwa agama Hindu muncul di Indonesia diperkirakan sejak permulaan abad Masehi. Meskipun demikian namun kontak-kontak pendahuluan mengenai hubungan Indonesia dengan India telah terjadi jauh sebelumnya.
Perkembangan dan penyebaran agama Hindu di Indonesia dan di Bali pada khususnya, tidak terlepas dari peranan tujuh tokoh suci yang mengembangkan ajaran Hindu yaitu diantaranya seperti Maha Rsi Markandeya yang pada abad ke-8 mendapatkan penceraha di Gunung Di Hyang yang sekarang menjadi Dieng di daerah JawaTimur. Dan sampai ke Bali hingga mendirikan pura yang bernama Besakih dan menggunakan sarana Banten sebagai alat atau sarana dalam upacara. Setelah Dhang Hyang Markandeya moksa, Mpu Sangkul Putih meneruskan dan melengkapi ritual keagamaan dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten yang diciptakan. Yang ketiga adalah Mpu Kuturan yang mendapat mandat dari raja Maja Pahit untuk mengembangkan ajaran Hindu dan membentuk sekte-sekte yang ada di Bali dan masing-masing sekte tersebut memuja dewa tertentu sebagai ista dewatanya. Yang ke empat adalah Mpu Manik Angkeran yang merupakan kelanjutan dari Mpu Sangkul putih yang merupakan putra dari Dang Hyang Siddimantra, yang ke lima adalah Mpu Jiwaya yang merupakan penyebar agama Buddha Mahayana aliran Tantri pada masa Dinasti Warmadewa (abad ke-9).kemudian yang keeman adalah Dhang Hyang Dwijendra datang ke Bali pada abad ke-14 ketika kerajaan Bali dipimpin oleh Dalem Waturenggong, yang merupakan pencetus pemujaan Hyang Widi dalam manifestasinya sebagai Tri Purusa (Siva, Sadha Siva dan Parama Siva).yang ketujuh yaitu Sri Wilatikta Brahmaraja XI yaitu pada abad 21 datang ke Bali sesuai dengan visi dan misi untuk menegaskan kembali peradaban Hindu Bali dengan mempertebal keyakinan umat terhadap Leluhur/Kawitan dengan praktek nyata membuat dan memelihara kembali palinggih Stana Kawitan pusat di di seluruh Jawa dan Bali.
Dari sekte-sekte yang berkembang di Bali, sekta Siva/Saiwa yang paling dominan. Terbukti dalam Lontar Tutur Gong Besi disebutkan yaitu tentang naskah yang memuat ajaran Siwaistik(Siva). Didalam naskah yang terdapat didalam lontar tutur Gong Besi dijelaskan tentang arti kata Surga Loka dan Siva Loka. Surga Loka artinya kebahagian lahir batin pada tempat yang langgeng atau abadi, dan Siva Loka artinya Istana atau stana Dewa Siva sebagai manifestasi dari Tuhan, Surga Loka atau Siva Loka artinya mendapat kebahagiaan lahir batin pada tempat yang langgeng atau abadi disisi Tuhan.
Dalam realisasinya, tata pelaksanaan kehidupan umat beragama di Bali juga menampakkan perpaduan dari unsur - unsur kepercayaan nenek moyang. Wariga, Rerainan (hari raya) dan Upakara sebagian besarnya merupakan warisan nenek moyang. Warisan ini telah demikian berpadu serasi dengan ajaran Agama Hindu sehingga merupakan sebuah satu kesatuan yang bulat dan utuh. Dengan demikian, Agama Hindu di Bali mempunyai sifat yang khas sesuai dengan kebutuhan rohani orang Bali dari jaman dahulu hingga sekarang. Di masa sekarang ini, warisan Agama yang adhiluhung tersebut perlu di jaga, rawat dan menyempurnakan pemahaman sehingga tetap bisa memenuhi kebutuhan jiwa keagamaan umat Hindu.
Walaupun sumber - sumber ajaran Agama Hindu di Bali berasal dari kitab - kitab berbahasa Sansekerta, namun sumber - sumber tua yang kita warisi kebanyakan ditulis dalam dua bahasa yaitu Bahasa sansekerta dan Bahasa Jawa Kuno. Kitab yang di tulis dalam bahasa Sansekerta umumnya adalah kitab Puja, namun bahasa Sansekerta yang digunakan adalah bahasa Sansekerta kepulauan khas Indonesia yang sedikit berbeda denga bahasa Sansekerta versi India. Sedangkan kitab - kitab yang ditulis dalam bahsa jawa kuno antara lain Bhuwanakosa, Jnana Siddhanta, Tattwa Jnana, Wrhaspati tatwa dan Sarasamuscaya. Kitab Bhuwanakosa, Jnana Siddhanta, Tattwa Jnana dan Wrhaspati Tattwa adalah kitab – kitab Tattwa yang mengajarkan Siwa Tattwa yang mana juga kitab - kitab ini menjadi unsur dari isi Puja. Sedangkan Sarasamuscaya adalah kitab yang mengajarkan susila, etika dan tingkah laku.
Disamping itu juga terdapat banyak lontar - lontar induk yang menjadi rujukan pelaksanaan kehidupan umat beragama dan bermasyarakat di Bali seperti lontar Wariga, lontar tentang pertanian, pertukangan, organisasi sosial dan yang lainnya. Disamping itu juga terdapat kitab - kitab Itihasa dan gubahan - gubahan yang berasal dari purana, seperti Parwa ( kisah Maha Bharata), Kanda (Ramayana) dan juga kekawin - kekawin yang menjadi alat pendidikan dan pedoman dalam bertingkah laku bagi masyarakat. Itihasa dan purana juga menjadi sumber dalam kehidupan berkesenian di Bali terutama kesenian yang masuk kategori Wali atau sakral, seperti wayang, topeng, calonarang dan yang lainnya, yang mana pementasan kesenian tersebut umumnya mengangakat tema cerita yang berasala dari Itihasa, purana atau kekawin. Tidak semua pelaksanaan kehidupan beragama di Bali yang dapat dirujuk kedalam sumber - sumber ajaran sastra agama, yang dikarenakan Agama Hindu di Bali begitu menyatu dengan Budaya, adat, seni dan segala aspek kehidupan orang Bali, sehingga banyak warisan budaya para leluhur orang Bali yang tetap diwariskan turun - temurun dan menjadi satu kesatuan denga Agama Hindu di Bali.
Kalau diamati ternyatalah bahwa agama Hindu di Indonesia dan di Bali adalah agama Hindu yang memuja Bhatara Siwa sebagai Tuhan yang tertinggi. Sanghyang Widhi Wasa adalah sebutan Tuhan yang amat umum. Bhatara Siwa adalah Sanghyang Widhi sendiri, dan didalan ajaran filsafat Siwa yang ada di Bali dikenal istilah yang di sebut dengan Sesana atau Siwa Sesana.
Di dalam Siwa Sasana disebutkan adanya “paksa-paksa (sekte)”- Saiwa yaitu Saiwa Siddhanta, Waisnawa, Pasupata, Lepaka, Canaka, Ratnahara dan Sambhu. Diantara nama sekte-sekte itu yang masih sampai sekarang ialah Saiwa Siddhanta. Untuk menamakan ajaran agama Hindu Indonesia. Bila diamati ternyata lainlah Saiwa Siddhanta Indonesia dengan Saiwa Siddhanta di India. Saiwa Siddhanta Indonesia merupakan kristalisasi dari berbagai ajaran agama Hindu khususnya dari kitab-kitab Purana. Sehubungan dengan itu maka Saiva Indonesia kadang-kadang disebut Saiwa Purana. Siwa Sasana adalah sasana untuk pandita Saiwa. Karena agama Hindu Indonesia memuja Bhatara Siwa, maka Siwa Sasana adalah untuk semua sulinggih Hindu Indonesia.
Dalam Siwa Sasana penggunaan kata-kata sadhaka dang upadhyaya sering benar, kadang-kadang berselang-seling. Semuanya menunjuk pada seseorang yang melaksanakan hidup kerohanian sebagai pandita. Acarya dan dang upadhyaya lebih cenderung berarti seorang pandita guru. Disamping itu ada pandita yang disebut dang acarya wrddha pandita, sriguru pata, dang upadhyaya pita maha, prapita maha, dan bhagawanta yang masing-masing berarti pandita guru yang agung, guru yang mulia yang senang membaca, kakek guru, kakek yang agung, dan bhagawan. Perbedaan diantara para pandita tersebut didalam Siva Sasana tidak dijelaskan. Siva Sasana ini ditunjukan untuk dilaksanakan dengan tujuan agar mereka dapat mempertahankan martabatnya sebagai pandita, dan menegakkan dharmanya. Suatu uraian yang panjang dalam lontar ini ialah uraian tentang syarat-syarat seorang acarya yang dapat dijadikan guru dan yang harus dihindari sebagai guru.
Berbicara masalah tatanan dan sesana Ida Rsi Bhujangga Waisnawa dalam kedekatannya dengan konsep Siva Sesana, maka terlebih dahulu aka diuraikan tentang tatanan seseorang yang akan menuju menjadi seorang Dwijati dari warga Bhujangga Waisnawa, yang telah berjalan dari sejak jaman dahulu dan sampai kini , sehingga menjadi warisan leluhur yang selalu dihormati. Untuk itu seorang “Calon Diksita” harus mempersiapkan diri  terlebih dulu sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku di dalam Warga Bhujangga Waisnawa tersebut yaitu:
·         Warga Bhujangga Waisnawa yang berasal dari keturunan sulinggih, dimana sebelumnya sudah ada yang melakukan Dwijati di tempat itu, yang disebut “Tunggak Griya” memiliki pengetahuan tentang agama  dan kesulinggihan, serta sehat rohani dan jasmani ( tidak cacat) memiliki budi pekerti serta tingkah laku yang baik.
·         Warga Bhujangga Waisnawa diluar keturunan langsung  Gria, yang telah memiliki kemampuan untuk  ma-Dwijati, baik kemampuan dalam ilmu serta pengetahuan tentang kesulinggihan maupun kemampuan fisik yang dalam hal ini sehat rohani dan jasmani ( tidak cacat), memiliki budi pekerti serta tingkah laku yang baik (Drs. Gde  Sara Sastra, M.Si, 2008:234).
Apabila syarat-syarat atau hal tersebut telah di penuhi maka calon Diksita akan mempersiapkan diri untuk bertemu Sadhaka Dang Acharya yaitu Rsi Bujangga Nabe/Guru, untuk mempohon kesediannya menjadi Nabe atau Guru Diksa atau pengangkatan untuk menjadi seorang sulinggih.
Tentunya dalam memilih Guru Nabe haruslah menggunakan Viveka atau kecerdasan dengan menggunakan syarat-syarat tertentu sebagai pertimbangan dalam memilih Guru Nabe yang benar-benar baik. Ini amat berat sehingga sukarlah kita mendapatkan acarya seperti itu. Walaupun demikian syarat-syarat ini mencerminkan acarya yang ideal. Syarat-syarat acarya yang baik dijadikan guru ialah :
1.      Berkepribadian baik
2.      Sastrawan
3.      Ahli Veda
4.      Menguasai hawa nafsu
5.      Taat melaksanakan brata
6.      Senior dalam umur
7.      Ahli bahasa
Pandita juga disebut Sang Dwijati karena telah lahir dua kali. Kelahiran pertama dari rahim Ibu, sedangkan kelahiran kedua dari Weda (Mantram Sawitri atau Gayatri). Kelahiran kedua ini terlaksana dalam proses Diksa yang diselenggarakan oleh Nabe sebagai Guru Putra. Pandita juga disebut Sang Sadaka, artinya orang yang sudah melaksanakan/ merealisasikan sadhana sehari-hari.
Pengertian sadhana seperti yang tertulis dalam Lontar Wrehaspati Tattwa adalah tiga jalan menuju Sang Hyang Wisesa Paramartha (Tuhan YME), yaitu Yoga yang terdiri dari:
1.      Jnanabhyudreka (mengerti ajaran tattwa),
  1. Indriyayogamarga (tidak terikat oleh indra),
  2. Tresnadosaksaya (dapat menghilangkan pahala perbuatan).
Dalam Lontar Ekapratama, Sang Sadaka disebut pula sebagai “Sang Katrini Katon”, yaitu “Wakil Hyang Widhi di dunia yang terlihat oleh manusia sehari-hari”.
  Acarya krta diksita yaitu acarya yang menjadi gurunya guru ialah acarya keturunan sadhaka yang memang disiapkan untuk menjadi acarya. Ia juga disebut dang upadhyaya. Acarya yang demikianlah  tempat orang mohon sangaskara (penyucian) dan bhasma (abu suci). Dia yang di-sangaskara oleh acarya seperti itu akan :
1.      Hilang nodanya
2.      Hilang papanya
3.      Bebas dari mara bahaya
4.      Bebas dari duka nestapa
Tatanan pelaksanaan upacara Dwijati, ada 3 (tiga) orang Guru Nabe yang terlibat didalam pelaksanaan Dwijati tersebut yang pertama Guru Nabe Upadayaya, yaitu Sadhaka yang bertugas “Napak” calon Diksita pada upacara pedwijatian, yang kedua adalah Guru Waktra, yaitu yaitu Sadhaka yang bertugas memberikan dan mengajar calon Diksita tentang “Sesananing Kesulinggihan” atas petunjuk Guru Nabe Upadayaya dan yang ketiga adalah Guru Saksi, yaitu Sadhaka yang bertugas Menyaksikan pelaksanaan upacara “Mepodgala” atau upacara Padwijatian sehingga calon Diksita betul-betul sah menjadi seorang sulinggih.
        Selanjutnya Sisia diterima secara resmi menjadi murid/ putra dengan upacara “meperas” sekaligus pawintenan menjadi “Jero Gde”. Sejak saat itu Jero Gde “aguron-guron” (belajar teori dan praktik) menjadi Pandita sambil mempersiapkan mental dan perilaku suci agar memenuhi persyaratan spiritual. Lamanya masa aguron-guron ini tergantung pada penilaian Nabe, apabila dinilai sudah cukup matang maka calon Diksa mempersiapkan kelengkapan administrasi seperti:
1.      Surat permohonan mediksa kepada PHDI Kabupaten.
  1. Keterangan: berbadan sehat, berkelakuan baik, riwayat hidup, riwayat pendidikan, persetujuan istri, dukungan warga (dadia), dan pas-foto.
Setelah menerima surat permohonan itu, PHDI mengadakan penelitian baik kepada calon Diksa maupun kepada Nabe-nya. Seterusnya diadakan Diksa Pariksa (ujian lisan) oleh PHDI. Apabila dinyatakan lulus dan memenuhi syarat maka dikeluarkanlah Surat Ijin Madiksa oleh PHDI.
Puncak upacara Madiksa didahului dengan upacara “seda raga” yaitu “penyekeban” sekitar 12-24 jam untuk menghilangkan “sadripu” calon Diksa. Setelah seda raga, dilaksanakan upacara Diksa sehingga lahirlah seorang Dwijati yang sudah berubah dibanding ketika masih “walaka” yaitu:
1.      Amari Sesana, artinya perubahan kebiasan dan disiplin kehidupan,
  1. Amari Aran, artinya perubahan nama (Bhiseka),
  2. Amari Wesa, artinya perubahan tata berpakaian.
Fungsi Sulinggih yaitu memimpin warga dalam upaya mencapai kebahagiaan rohani sesuai dengan perannya sebagai “Guru Loka” dan “Ngelokaparasraya” yaitu menjadi sandaran/ tempat bertanya tentang kerohanian, pelindung/ penuntun dan pengayom masyarakat di bidang Agama Hindu, memberi petunjuk dan bimbingan di bidang tattwa, susila, dan upacara, “muput” upacara ritual atas permintaan warga serta Tugas seorang Sulinggih adalah mensejahterakan kehidupan masyarakat melalui jalur spiritual.
Di zaman Kali seperti sekarang ini tugas Sulinggih sudah sangat-sangat berat karena getaran-getaran serta rangsangan untuk berbuat adharma tidak hanya terjadi pada umatnya saja tetapi juga bisa terjadi pada diri Sulinggih, sehingga perilaku kebanyakan manusia di zaman Kali mempunyai ciri-ciri antara lain:
1.      Atyanta Kopah, yaitu sifat yang mudah marah apabila keinginannya tidak tercapai.
  1. Katukaa cawani, yaitu suka berkata-kata kasar, membentak, berbohong, menipu, dan memfitnah karena merasa kepentingannya terancam.
  2. Daridrata, yaitu sifat lobha atau tidak pernah puas dengan apa yang sudah dimiliki, kikir, malas ber-dana punia atau membantu orang lain yang ditimpa kesusahan.
  3. Swajanesu wairan, yaitu tega memusuhi keluarganya sendiri karena didorong oleh kepentingan pribadi.
  4. Niica prasangga, yaitu melakukan swadharma bukan dari hati nurani yang suci, tetapi demi harta kekayaan tanpa memperhatikan segi-segi sosial.
  5. Kulahiina sewa, yaitu bersahabat dengan orang-orang bejat.
Sulinggih mestinya sudah mampu mengendalikan diri agar tidak terkena godaan-godaan Sad Ripu serta teguh pada norma-norma kesulinggihan antara lain teguh melaksanakan yama brata, niyama brata, trikaya parisudha, setelah berhasil mensucikan diri dan memperkuat pertahanan dari getaran-getaran adharma barulah ia dapat memenuhi swadharmanya sebagai Adi Guru Loka Namun demikian untuk mencapainya tidak sedikit kendala yang dihadapi Sulinggih dan lembaga kesulinggihan di masa kini
Seorang yang sudah menjadi seorang Sulinggih dalam berprilaku dan berwatak hendaknya menjadi orang yang beretika, sopan, jujur, baik dalam pikiran, perkataan maupun perbuatan. Dalam kata lain orang yang sudah di Dwijati, harus melaksanakan Tri Kaya Parisudha, dalam kehidupan sehari-hari. Disamping itu seseorang yang sudah di Dwijati harus melaksanaka Guru Susrusa, yaitu hormat kepada Guru lebih-lebih kepada Guru Nabe sebagai sisia yang Diksita harus tunduk pada Guru Nabe.
Tatanan-tatanan ini tidak jauh berbeda dengan tatanan yang ada dalam Siva sasana, yang menjadi pijakan dari semua Sadhaka yang ada di Bali, baik itu dari Sadhaka golongan Saiva, Waisnawa ataupun dari Buddha.
Dari hal tersebut  yaitu bahwa Sasananing Sang Rsi Bhujangga tidak lepas dari lontar Siva Sasana, yang kini menjadi acuan dasar bagi para Sadhaka didalam melaksanakan kewajibannya sebagai seorang yang telah melepaskan diri dari dunia Walaka, dan menjadi seorang Sadhaka yang diikat oleh sesana-sesana Kawokon sesuai dengan yang ada didalam Lontar Siwa Sesana tersebut. Ini bearti “Sasananing” I da Rsi Bhujangga tidak jauh dengan konsep dalam Lontar Siwa Sesana.
Karena swadharma uttama para pandita adalah melayani umat dalam upaya meningkatkan pemahaman akan ajaran suci Veda, maka untuk melancarkan tugas-tugasnya itu dibutuhkan kepedulian umat dalam meringankan tugas-tugas beliau. Tugas pandita untuk menanamkan nilai-nilai suci ajaran Veda tidaklah mudah, dibutuhkan kecerdasan, keuletan, kesabaran, pengetahuan, kesehatan, dan ketenangan batin. Itulah sebabnya Rsi Yajna itu dapat diwujudkan dalam bentuk Rsi Bhojana yaitu upacara keagamaan yang dilaksanakan dengan cara menjamu para pandita dengan menyuguhkan makanan dan minuman yang pantas (I Ketut Donder, 2007:369-370).
Jadi telah jelas dipaparkan tentang perubahan dari awal ajaran Siva yang berasal dari India dan masuknya ajaran Siva ke Indonesia hingga sampai dan berkembang di Bali, yang pada saat ini masih tetap hidup dan berkembang di Bali. Meskipun ada kesan berbeda dari ajaran Siva yang ada di India dengan ajaran Siva yang ada di Bali, namun secara garis besar inti dari ajaran Siva itu tetaplah sama yaitu bersumber pada ajaran tentang cinta kasih/kasih sayang dan kedekatan kepada pemuja dan yang di puja yaitu kepada Siva khususnya sebagai manifestasi dari Tuhan yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widi Wasa. Hanya tempat, waktu dan keadaan yang seolah-olah membentuk suatu karakter pemujaan yang terlihat berbeda.
Karena pada dasarnya Tuhan hanya satu tidak ada duanya, hanya Ia memanifestasikan dirinya untuk mengambil dan menjalankan sesuai dengan tugas dan perannya di alam semesta baik itu alam yang skala/yang bersifat nyata atau terlihat, maupun secara niskala/yang bersifat tidak nyata atau yang tidak terlihat secara fisik.

SIMPULAN
      Berdasarkan analisis dan kajian yang dilakukan tentang ajaran filsafat Siwa/Saiwa maka dapat digaris bawahi beberapa hal sebagai sebuah kesimpulan, bahwa filsafat Siwa/Saiwa merupakan  satu cabang dari agama, dimana Tuhan/Ida Sang Hyang Widi Wasa disimbolkan sebagai Lingga dan Yoni yaitu sebagai laki-laki dan perempuan sebagai lambing dari manifestasinya, yang merupakan sebuah awal dari terciptanya alam semesta beserta isinya. 
      Seiring dengan berkembangnya ajaran tentang ketuhanan , maka hadirlah filsafat-filsafat sebagai suatu acuan dalam kehidupan manusia, yang merupakan ajaran atau wahyu dari Tuhan yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widi Wasa.
      Salah satu dari beberapa ajaran-ajaran filsafat yaitu tentang filsafat Siwa/Saiwa, yang merupakan pokok-pokok dari ajaran tentang ketuhanan dan kemahakuasaannya, yang pada awal mulanya berkembang di daerah India, dan di sebarkan atau di bawa oleh tokoh-tokoh agamawa seperti seorang Maha Rsi sampai di Indonesia.
      Di Indonesia banyak ajaran- ajaran tentang filsafat yang masuk dan berkembang sehingga terjadinya banyak aliran-aliran atau sekte-sekta yang berkembang. Tetapi yang lebih dominan adalah sekte Siwa Siddhanta yang berkembang di Bali. Terbukti hingga sekarang tatanan-tatanan pemujaan yang ada di Bali menggunakan ajaran-ajaran dari filsafat Siwa termasuk para tokoh-tokoh agama seperti para sulinggih, sebagian besar mengusung ajaran dari filsafat Siwa yang dikenal dengan Siwa Sesana.
      Didalam ajaran tentang Siwa Sesana Seorang yang sudah menjadi seorang Sulinggih dalam berprilaku dan berwatak haruslah menjadi orang yang beretika, sopan, jujur, baik dalam pikiran, perkataan maupun perbuatan. Dalam kata lain orang yang sudah di Dwijati, harus melaksanakan Tri Kaya Parisudha, dalam kehidupan sehari-hari. Disamping itu seseorang yang sudah di Dwijati harus melaksanaka Guru Susrusa, yaitu hormat kepada Guru lebih-lebih kepada Guru Nabe sebagai sisia yang Diksita harus tunduk dan patuh pada Guru Nabenya.
Jadi dari pemaparan itu disimpulkan bahwa hubungan antara filsafat Siwa yang ada di India dan filsafat Siwa yang ada di Bali adalah sama. Meskipun ada kesan berbeda dari ajaran filsafat Siwa yang ada di India dengan filsafat Siwa yang ada di Bali, namun secara garis besar inti dari ajaran filsafat Siwa itu tetaplah sama yaitu bersumber pada ajaran tentang cinta kasih/kasih saying dan kedekatan kepada pemuja dan yang di puja yaitu kepada Siwa khususnya sebagai manifestasi dari Tuhan yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widi Wasa. Hanya tempat, waktu dan keadaan yang seolah-olah membentuk suatu karakter pemujaan yang terlihat berbeda karena pada dasarnya ajaran filsafat Siwa itu satu dan universal.









DAFTAR PUSTAKA
Agastia, IBG, Made Titib dkk. 2005. Eksistensi Sadaka Dalam Agama Hindu. Denpasar: Penerbit Pustaka Manikgeni.
Donder, I Ketut. 2007. Kosmologi Hindu Penciptaan, Pemeliharaan, dan Peleburan Serta Penciptaan Kembali Alam Semesta. Surabaya: Penerbit Paramita.
Gautama Budha, Wayan. 2004. Tutur Gong Besi. Surabaya: Penerbit Paramita.
Maswinara, I Wayan. 2006. Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darsana Samgraha). Surabaya: Penerbit Paramita.
Pudja, Gede. 1999. Teologi Hindu (Brahma Widya). Surabaya: Penerbit Paramita.
Rao,V.V.B, 2008. Siva Purana. Surabaya: penerbit Paramita.
Sara Sastra, Gde. 2008. Bhujangga Waisnawa Dan Sang Trini Bagian Dari Konsep Saiwa Siddhanta Indonesia. Denpasar: Penerbit Pustaka Bali Post.
Titib, I Made. 2001. Teologi & Sombol-simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya: penerbit Paramita.
Titib, I Made. 2004. Purana. Surabaya: penerbit Paramita.
(http://id.wikipedia.org./wiki/sejarah hindu bali,2011).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar