Didalam Hindu ada
enam filsafat yang dikenal dengan sebutan Sad Darsana yaitu tentang enam pandangan
filsafat Hindu yang terdiri dari Vaisiseka, Samkhya, Yoga, Purwa Mimamsa, Wedanta. Baca juga artikel sebelumnya Samkhya; Filsafat yang Mengajarkan Optimisme
Terdapat dua
kelompok filsafat India, yaitu Astika dan Nastika.
Nastika merupakan kelompok aliran yang tidak mengakui kitab Veda, sedangkan kelompok Astika sebaliknya. Dalam Astika, terdapat enam
macam aliran filsafat seperti yang dijelaskan diatas. Diluar keenam Astika diatas, terdapat juga Nastika, pandangan Heterodok yang
tidak mengakui otoritas dari Veda, yaitu: Buddha,
Jaina dan Carvaka.
Filsafat yang muncul di India merupakan bagian yang sejalan
dengan agama. Dengan melihat eratnya hubungan agama dan filsafat India, maka
filsafat India bersifat religius dengan
menonjolkan aspek-aspek bersifat metafisik, yaitu hakekat ketuhanan dan alam semesta
sebagai bahan utama dalam pembahasan.
Dilihat dari sebagian besar kehidupan di India dikuasai oleh
cita-cita kerohaniaan atau kejiwaan, maka yang banyak dikemukakan menurut
filsafat India adalah suatu orde atau tempat kediaman yang kekal dan abadi bagi
manusia, yang tiada lain berada dalam dan bersatu dengan Tuhan, tidak mengalami
kelahiran kembali atau samsara (Madja, 2009: 21).
Ajaran filsafat Samkhya dan filsafat Buddha menjadi bahasan
dalam hal ini, karena keduanya memiliki kesamaan/kemiripan dari ajaran
filsafatnya walaupun dikelompokkan pada tempat Darsana yang berbeda. Dalam
sejarah Samkhya diakui sebagai Darsana yang tertua diantara Darsana lainnya. Ajaran ini
dibangun oleh Maharsi Kapila, yang menulis Samkhyasutra. Didalam sastra Bhagavatapurana disebutkan nama Maharsi Kapila, putra Devahuti sebagai pembangun
ajaran Samkhya yang
bersifat theistic. Karya sastra mengenai Samkhya yang kini dapat diwarisi adalah Samkhyakarika yang di tulis
oleh Isvarakrsna. Ajaran Samkhya ini sudah sangat tua umurnya,
dibuktikan dengan termuatanya ajaran Samkhya dalam sastra-sastra Sruti, Smrti, Itihasa dan purana. Menurut keterangan orang
yang pandai dan bijaksana kata Samkhya artinya angka. Sistem angka ini dipakai
untuk menyusun urutan kebenaran tertinggi ajaran ini.
Kata Samkhya juga merupakan pemantulan,
yaitu pemantulan filsafati. Ajaran Samkhya bersifat realistis karena didalamnya mengakui
realitas dunia ini yang bebas dari roh. Disebut dualistis karena
terdapat dua realitas yang saling bertentangan tetapi bisa berpadu, yaitu purusa dan prakrti yang merupakan pokok dari ajaran
Samkhya, yaitu azas rokhani dan badani. Dari perpaduan ini maka terciptalah
alam semesta beserta isinya.
Buddha/Budhisme adalah satu-satunya pesan religious dan
filosofis India yang tersebar luas melampaui batas-batas anak benua asal
usulnya itu. Setelah menaklukan Asia
kearah utara dan timur,di wilayah-wilayah yang luas ini Budhisme mendapat
banyak pengikut dan membentuk sebuah peradaban yang berdiri tegak selama
berabad-abad. Fenomena ini cenderung menutupi fakta bahwa pada dasarnya
Budhisme hanya dimaksudkan untuk kebahagiaan segelintir orang. Ajaran filosofis
yang berakar pada berbagai prinsip populer yang sangat mempesona ini bukan lah
ajaran yang siap dikonsumsi semua orang. Senyatanya, dari banyak ajaran yang
muncul selama bermilenium-milenium diseluruh penjuru dunia sebagai solusi atas
enigma-enigma kehidupan, Budhisme menempati peringkat yang paling tidak
mengenal kompromi, kabur dan paradoksal (Zimmer, 2003 : 448).
Ajaran Buddha sebenarnya bersifat nyata karena Buddha telah mengajarkan bagaimana
caranya untuk mengatasi atau mengurangi dukkha, tentang reingkarnasi dan
bagaimana caranya mencapai kebahagiaan abadi dari Nibbana. Dengan mengikuti
Jalan Mulia Berunsur/berakar dari diri sendiri yang diajarkan oleh Buddha, serta
ajaran pencapaian yang beorientasi pada diri sendiri hingga mencapai titik yang
dinamakan pencerahan Agung.
Ajaran Filsafat Samkhya Dan Buddha
Dalam filsafat India yang bersumber dari kitab suci Hindu
yaitu Veda, Brahmakanda dan Upanishad - terdapat enam aliran utama yang menjadi
cikal bakal aliran-aliran lain dalam masa-masa berikutnya. Keenam aliran atau
madzab itu ialah Nyaya, Vaishesika, Samkhya, Yoga, Mimamsaka dan Vedanta.
Aliran yang akan dibahas sekarang ialah Samkhya, lazim dipasangkan dengan
aliran lain yang merupakan penjabarannya dalam bentuk disiplin kerohanian yaitu
yoga.
Samkhya berasal dari dua kata yaitu Sam yang berarti bersama - sama dan Khya yang berarti bilangan. Jadi Samkhya berarti susunan yang berukuran bilangan. Perkataan Samkhya
juga berarti pengetahuan yang sempurna (sayag
jnana). Sistem filsafat Samkhya kadangkala
dinamakan pula dengan istilah Nir Iswara
Samkhya tidak menyebut nama Tuhan. Salah satu alasan yang dikemukakan oleh
Kapila adalah karena Tuhan itu sulit untuk dibuktikan. Inilah suatu pernyataan
yang menarik untuk diperbincangkan karena Samkhya mengakui adanya Purusa (roh) sebagai asas tertinggi. Cukup banyak penulis
yang menyinggung tentang Samkhya dan
dapat kita nikmati sampai detik ini, salah satunya adalah Samkhya Karika yang ditulis oleh Iswarakresna.
Sama halnya dengan ajaran Buddha, yang ditekankan dalam
ajarannya yaitu bahwa Buddha bukan Tuhan. Tetapi konsep ketuhanan dalam ajaran Buddha berbeda
dengan konsep dalam agama Samawi dimana alam semesta diciptakan
oleh Tuhan dan tujuan akhir dari hidup manusia adalah kembali ke surga ciptaan Tuhan yang kekal. Ajaran Buddha ini adalah suatu ajaran yang bertolak belakang
dengan ajaran agama Hindu. Ajaran Buddha ini erat kaitannya dengan filosofi
Upanishad. Buddha biasanya dibilang bukan agama melainkan suatu ajaran yang
bersifat filosofis. Doktrin yang terpenting
pada ajaran ini adalah adanya Reinkarnasi manusia. Reinkarnasi adalah
kembalinya manusia tersebut ke bumi setelah dia mati. Pada reinkarnasi ini,
manusia dapat kembali hidup, dan menjadi manusia kembali dengan kehidupan yang
berbeda, bahkan ada manusia yang menjadi makhluk hidup yang lain, contohnya
hewan.
Ajaran Buddha mengajarkan bahwa dunia itu hanyalah ilusi
spiritual, tidak ada yang kekal dan abadi di dunia ini. Jalan tengah akan
membimbing pada siklus kelahiran kembali dan menyatu dalam dunia universal
(nirwana). Nirwana bukan berarti penghancuran jiwa dalam arti ruh, tapi hanya
penghancuran ilusi yang terpisah, dengan pemikiran bahwa: kita hidup manunggal dalam
kehidupan. Berbeda dengan Hindu ajaran budha menolak adanya kasta. Menurut
ajaran Budha semua orang derajatnya sama di mata sang Buddha.
Ada
empat kebajikan yang diajarkan dalam ajaran Buddha, diantaranya:
kehidupan
manusia itu pada dasarnya tidak bahagi.
Sebab-musabab
ketidakbahagiaan ini adalah memikirkan kepentingan diri sendiri serta
terbelenggu oleh nafsu
pemikiran
kepentingan diri sendiri dan nafsu dapat ditekan habis bilamana segala nafsu
dan hasrat dapat ditiadakan, dalam ajaran Buddha disebut nirvana
menimbang benar, berpikir benar,
berbicara benar, berbuat benar, cari nafkah benar, berusaha benar, mengingat
benar, meditasi benar.
Selain ajaran diatas ada delapan
ajaran penting dari Buddha untuk terlepas dari penderitaan yaitu :
1. Pengertian Benar (Sammã
Ditthi) Pemahaman Benar adalah pengetahuan yang disertai dengan penembusan
terhadap
a. Empat Kesunyataan Mulia
b. Hukum Tilakkhana (Tiga
Corak Umum)
c. Hukum Paticca-Samuppäda
d. Hukum Kamma
2. Pikiran Benar (Sammã Sankappa) Pikiran
Benar adalah pikiran yang bebas dari:
a. Pikiran yang bebas dari
nafsu-nafsu keduniawian (nekkhamma-sankappa).
b. Pikiran yang bebas dari
kebencian (avyäpäda-sankappa)
c. Pikiran yang bebas dari
kekejaman (avihimsä-sankappa)
3. Ucapan Benar (Sammã Vãca) Ucapan Benar
adalah berusaha menahan diri dari berbohong (musãvãdã), memfitnah (pisunãvãcã),
berucap kasar/caci maki (pharusavãcã), dan percakapan-percakapan yang tidak
bermanfaat/pergunjingan (samphappalãpã). Dapat dinamakan Ucapan Benar, jika
dapat memenuhi empat syarat di bawah ini :
a. Ucapan itu benar
b. Ucapan itu beralasan
c. Ucapan itu berfaedah
d. Ucapan itu tepat pada
waktunya
4. Perbuatan Benar (Sammã Kammantã) Perbuatan
Benar adalah berusaha menahan diri dari pembunuhan, pencurian, perbuatan
melakukan perbuatan seksualitas yang tidak dibenarkan (asusila), perkataan
tidak benar, dan penggunaan cairan atau obat-obatan yang menimbulkan ketagihan
dan melemahkan kesadaran.
5. Penghidupan Benar (Sammã Ãjiva) Penghidupan
Benar berarti menghindarkan diri dari bermata pencaharian yang menyebabkan
kerugian atau penderitaan makhluk lain. “Terdapat lima objek perdagangan yang
seharusnya dihindari (Anguttara Nikaya, III, 153), yaitu:
a. makhluk hidup
b. senjata
c. daging atau segala
sesuatu yang berasal dari penganiayaan mahluk-mahluk hidup
d. minum-minuman yang
memabukkan atau yang dapat menimbulkan ketagihan,
e. racun
Dan terdapat pula lima pencaharian salah yang harus
dihindari (Majjima Nikaya. 117), yaitu:
a. Penipuan
b. Ketidak-setiaan
c. Penujuman
d. Kecurangan
e. Memungut bunga yang
tinggi (praktek lintah darat)
6. Usaha Benar (Sammã Vãyama) Usaha Benar
dapat diwujudkan dalam empat bentuk tindakan, yaitu: berusaha mencegah
munculnya kejahatan baru, berusaha menghancurkan kejahatan yang sudah ada,
berusaha mengembangkan kebaikan yang belum muncul, berusaha memajukan kebaikan
yang telah ada.
7. Perhatian Benar (Sammã Sati) Perhatian
Benar dapat diwujudkan dalam empat bentuk tindakan, yaitu:
- perhatian penuh terhadap
badan jasmani (kãyãnupassanã)
- perhatian penuh terhadap
perasaan (vedanãnupassanã)
- perhatian penuh terhadap
pikiran (cittanupassanã)
- perhatian penuh terhadap
mental/batin (dhammanupassanã)
Keempat bentuk tindakan tersebut bisa disebut sebagai
Vipassanã Bhãvanã.
8. Konsentrasi Benar (Sammã Samãdhi) Konsentrasi Benar
berarti pemusatan pikiran pada obyek yang tepat sehingga batin mencapai suatu
keadaan yang lebih tinggi dan lebih dalam.
Ajaran Budha bisa dipelajari oleh siapa saja, hal ini
dikarenakan dalam ajaran Budha tak mengenal akan adanya kasta. Tak peduli dari
ras manapun dan dari bangsa manapun dia, tetap diperbolehkan mempelajari ajaran
ini.
Bila kita mempelajari
ajaran agama Buddha seperti yang terdapat dalam kitab suci Tripitaka, maka
bukan hanya konsep Ketuhanan yang berbeda dengan konsep Ketuhanan dalam agama
lain, tetapi banyak konsep lain yang tidak sama pula. Konsep-konsep agama Buddha
yang berlainan dengan konsep-konsep dari agama lain antara lain adalah
konsep-konsep tentang alam semesta, terbentuknya Bumi dan manusia, kehidupan manusia di alasemesta, kiamat dan Keselamatan atau Kebebasan.
Inti ajaran Buddha menjelaskan bahwa hidup
adalah untuk menderita. Jika di dunia ini tidak ada penderitaan, maka Buddha
pun tidak akan menjelma di dunia. Semua hal yang terjadi pada manusia merupakan
wujud dari penderitaan itu sendiri. Saat hidup, sakit, dipisahkan dari yang
dikasihi dan lain-lain, merupakan wujud penderitaan seperti yang sudah
dijelaskan diatas. Bahkan kesenangan yang dialami manusia, dianggap sebagai
sumber penderitaan karena tidak ada kesenangan yang kekal di dunia ini.
Kesenangan atau kegirangan bergantung kepada ikatannya dengan sumber
kesenangannya itu, padahal sumber kesenangan tadi berada di luar diri manusia.
Sumber itu tidak mungkin dipengang atau diraba oleh manusia, karena tidak ada
sesuatu yang tetap berada. Semua penderitaan disebabkan karena kehausan. Untuk
menerangkan hal ini diajarkanlah yang disebut pratitya samutpada, artinya pokok
permulaan yang bergantungan. Setiap kejadian pasti memiliki keterkaitan dengan
pokok permulaan yang sebelumnya.
Buddha mengajarkan bahwa tujuan akhir hidup
manusia adalah mencapai kebuddhaan (anuttara samyak sambodhi) atau
pencerahan sejati dimana satu makhluk tidak perlu
lagi mengalami proses tumimbal lahir. Untuk mencapai itu
pertolongan dan bantuan pihak lain tidak ada pengaruhnya. Tidak ada dewa-dewi
yang dapat membantu, hanya dengan usaha sendirilah kebuddhaan dapat dicapai.
Buddha hanya merupakan contoh, juru pandu, dan guru bagi makhluk yang perlu
melalui jalan mereka sendiri, mencapai pencerahan rohani, dan melihat kebenaran
serta realitas sebenar-benarnya. Itu yang menjadikan kemiripan dengan ajaran
filsafat Samkhya yang menyatakan semua adalah maya/tidak kekal, dan yang kekal
hanyalah rohani/purusa itu sendiri.
Didalam ajaran Samkhya
ada tiga sumber pengetahuan yang benar (Tri Pramana). yaitu Pratyaksa
(pengamatan langsung), Anumana (didasarkan atas kesimpulan), dan Sabda pramana
(pernyataan). Tentang pengetahuan yang didapat atas dasar Sabda dapat dibagi
dua yaitu Laukika yang artinya
kesaksian yang diberikan oleh orang yang dapat dipercaya, Waidika yang artinya kesaksian Veda.
Di dalam etika Samkhya
tidak membedakan seseorang atas golongannya untuk mempelajari kitab suci Veda.
Setiap orang dianjurkan untuk mengendalikan pikiran agar terjadi keseimbangan
di dalam dirinya sendiri dan lingkungannya. Menurut Samkhya pribadi yang tampak bukanlah pribadi yang sebenarnya
melainkan khayalan, pribadi yang sesungguhnya adalah purusa atau roh itu sendiri.
Dalam mencari pengetahuan yang benar, filosof Samkhya
menggariskan tiga metode. Yaitu: (1) Pratyaksa pramana atau pengamatan
langsung; (2) Anumana pramana (penyimpulan); (3) Apta Vakya atau penegasan yang
pantas, berlandaskan apa yang diajarkan kitab Veda atau ucapan para maharesi.
Penekanan pada dualitas dapat dilihat pada ajarannya yang menyatakan bahwa awal
terjadinya dunia atau alam semesta ialah purusha dan prakrti. ‘Purusha’ ialah
asas rohani, dan prakrti ialah asas kebendaan atau jasmani. Keduanya tanpa awal
(anadi) dan tanpa akhir (ananta). Purusha adalah ruh yang jumlahnya banyak,
sedangkan prakrti ialah materi yang kacau balau yang tidak berbentuk, jumlahnya
tidak terkira banyaknya dan berputar dalam kegelapan. Prakrti mendapat bentuk
tertentu setelah bercampur dengan purusha. Dalam kehidupan keduanya tidak dapat
dibedakan dan dipisahkan. Jika purusha dan prakrti terpisah maka kehidupan akan
berakhir dan kelahiran baru akan mulai.
Karena pada hakekatnya alam semesta ini merupakan serentetan
akibat dari suatu sebab. Sebab itu haruslah suatu asas yang bukan roh. Bukan
kesadaran dan sebab itu haruslah lebih halus dari akibat yang menimbulkannya.
Sebab terakhir itu haruslan suatu asas yang tidak merupakan akibat dari suatu
sebab lagi, suatu sebab yang kekal abadi yang selalu menjadi sumber dari
terciptanya dunia ini. Sebab yang terakhir inilah yang disebut dengan prakerti
dalam ajaran Samkhya. Karena prakerti itu merupakan suatu sebab pertama dari
semua yang ada dalam alam semesta ini, ia harus bersifat kekal dan abadi, sebab
tidak mungkin yang tidak kekal menjadi sebab yang pertama dari semua yang ada
di alam semesta ini (Sumawa, 1996: 139).
Pradana dan Prakerti adalah kekal, meresapi segalanya, tak
dapat digerakan dan cuma satu adanya. Ia tak memiliki sebab, tetapi merupakan
penyebab dari semua akibat. Prakerti hanya bergantung pada aktifitas dari unsur
pokok Guna-nya sendiri (sifat methafisika). Prakerti merupakan ketiadaan
kecerdasan, seperti seutas tali yang terdiri dari tiga bagian pintalan yang
terbentuk dari tiga Guna (Maswinara, 1999: 156).
Tentang purusha dan prakrti dapat diuraikan seperti berikut.
Purusha itu ‘nyata’ (sat) dan dapat dikatakan sebagai suatu kesadaran yang
meresapi segala sesuatu dan abadi. Prakrti adalah pelaku kehidupan yang
mengandung unsur ruhani dan benda. Arti prakrti ialah yang mula-mula dan yang
mendahului semua kejadian. Pra berarti sebelum, dan kri berarti membuat sesuatu
yang mirip, yaitu dengan alam maya yang digambarkan oleh Vedanta. Prakrti
disebut pradhana, pokok asal segala sesuatu. Bergerak dan berkembangnya prakrti
menjadi obyek-obyek hidup yang banyak di alam semesta, disebabkan adanya tiga
guna atau sifat (triguna) yang melekat dalam dirinya dan ketiganya bersama-sama
melakukan aktivitas tanpa henti. Tiga guna itu ialah Sattva, Rajas dan Tamas.
Sattva ialah kesesuaian, keseimbangan, kebaikan, kepantasan
atau kepatutan. Rajas ialah kegiatan, kegairahan, gerak tanpa henti, tindakan
maju ke depan. Tamas ialah kelesuan, kebekuan, kekebalan dan kekokohan. Apabila
sattva yang berpengaruh, tumbuhlah gejolak, keresahan, gonjang-ganjing dan
dinamika. Rajas dinyatakan sebagai raga dvesa yaitu suka dan tidak suka, cinta
dan benci, senang dan tidak senang, menarik simpati dan memualkan. Tamas
menimbulkan kelesuan, kemalasan, kemasabodohan, kegiatan yang dungu dan
ketidakpedulian. Ketiga guna itu ada pada manusia dengan keseimbangan yang
berbeda-beda, serta menentukan watak, perangai dan pribadi seseorang. Dengan
kata lain Sattva ialah unsur terang atau cahaya. Rajas ialah unsur aktif dan
penggerak. Tamas ialah unsur gelap dan berat.
Sebagai sistem
filsafat, Samkhya Darsana memiliki banyak pendukung dan penafsir. Di antara
tokoh-tokoh yang menonjol sebagai penafsir dan perumus-perumus baru ajaran
Kapila Muni ialah Isvara Krisna (abad ke-3 M), Vacaspati Misra (abad ke-9 M),
Ganganatha Jha (abad ke-10 M), Anirudha (abad ke-15), Vijnana Bhiksu (abad
ke-16 M), Mahadeva Vedantin (abad ke-18 M) dan masih banyak lagi yang lain.
2.2 Teori Evolusi Dalam Filsafat Samkhya Dan
Buddha
Sebagai sistem filsafat, Samkhya dan Buddha yang menguraikan
masalah evolusi, yaitu perkembangan dan perubahan segala sesuatu yang ada di
alam semesta, barangkali dapat dijelaskan sebagai berikut. Samkhya bertolak
dari kategori-kategori jamak yang dijumpai dalam kitab Veda dan dikemukakan
secara rumit dan kompleks oleh filsafat Nyaya dan Vaisesika. Berdasarkan
kategori tersebut kemudian filosof Samkhya menyederhanakannya menjadi dua asas,
yaitu purusha dan prakrti. Purusha adalah subyek yang mengetahui segala
sesuatu, sedangkan prakrti adalah obyek yang diketahui.
Prakrti yang sering diartikan sebagai alam merupakan
material primordial yang merupakan asas dari semua keberadaan obyektif, baik
keberadaan jasadi maupun keberadaan jiwani (psikologis). Pakrti adalah obyek
yang senantiasa berubah dan merupakan sumber dari alam yang menjadi atau
kejadian-kejadian di alam semesta. Di dalamnya semua keberadaan yang ditentukan
tersimpan dan tersembunyi sebagai benih potensial bagi terjadinya sesuatu. Ia
bukan wujud, tetapi suatu daya atau kekuatan yang selalu dalam keadaan tegang.
Ketegangan yang dialaminya disebabkan adanya tiga guna (sifat asas) yang
melekat dalam dirinya secara abadi. Ketiga guna itu ialah sattva, rajas dan
tamas.
Dengan perkataan lain prakrti adalah tali senar yang menjadi
sarana kegiatan atau permainan tiga guna itu. Perpaduan ketiga guna ini
melahirkan kesenangan, duka, kebencian, kemalasan dan seterusnya tergantung
guna yang mana yang paling kuat. Bila ketiganya seimbang maka tidak ada gerak
dari prakrti, alias diam dan hening. Bila keseimbangan terganggu, ketegangan
akan muncul dan bermulalah proses evolusi itu.
Keyakinan dalam ajaran Buddha tentang evolusi itu yaitu pada
sebuah perubahan dimana diyakini adanya tentang kelahiran kembali setelah
kematian, terjadinya karma yang harus dijalani didalam kehidupan, perubahan
menjadi yang sempurna hingga mencapai pencerahan/kebahagian yang sejati atau
Buddhi. Dalam ajaran Buddha meyakini bahwa semua orang atau mahluk akan
nantinya mencapai tingkat kebuddhaan, hanya menunggu waktu saja dan penyadaran
akan ego/keinginan. Jika sebuah mahluk mengarah ke-yang lebih baik dalam siklus
kehidupannya maka nantinya pada saat habis karmanya pada saat kelahirannya yang
terakhir ia akan mencapai penerangan seperti Sidharta Gautama yang mencapai
tingkat kebuddhaan. Sebaliknya bila mahluk dalam suatu kehidupannya selalu
melakukan perbuatan yang buruk maka ia akan menjalani kehidupa/kelahiran yang
terus berulang-ulang hingga nantinya sampai mencapai pencerahan agung seperti
Buddha. Inilah yang di percaya sebagai evolusi dalam ajaran Buddha.
Dalam filsafat Buddha ini terdapat satu istilah yang penting
yaitu Panna (Pali) atau Prajna (Sansekerta). Dalam Bahasa Inggris:
“kebijaksanaan”, makna yang terkandung dalam istilah di atas adalah melihat
atau memahami pencerahan/penerangan sempurna itu dilakukan melalui
“mata/panna/prajna”. Pengalaman pencerahan (Penerangan Sempurna), Dalam bahasa
kias dikatakan bahwa untuk dapat mencapai pantai seberang dari samsara,
diperlukan “mata panna/prajna”. Dan pantai seberang itu akan terlihat sebagai
Kusunyataan (Ultimatum Reality). Segala sesuatu dilihat sebagai sedemikian atau
secara murni dan benar. Hal tersebut akan dicapai oleh siapapun juga yang pikirannya
terbebas dari segala sesuatu (sabbattha vimuttamanasa), tidak terikat pada
kelahiran dan kematian, tidak lagi hanyut dalam ketidak-kekalan masa
lalu-kini-yang akan datang.
Dalam Kitab suci Dhammapada Syair 153-154 yang berisi
tentang kemenangan Sang Buddha yang telah bebas dari penderitaan. Beliau telah
menemukan “gahakaraka” (pembuat rumah) yang berada di belakang semua kegiatan
jasmani dan rohani manusia. Gahakaraka tadi tidak pernah mati, ia senantiasa
hidup apabila jasmani (manusia) itu berfungsi. Tubuh ini diibaratkan sebagai
budak dari gahakaraka. Melihat gahakaraka tidaklah berarti 'melihat keinginan
yang terakhir'. Pengalaman pencerahan (penerangan sempurna) tidaklah
menghapuskan sesuatu melainkan melihat atau memandang dengan “mata panna atau
praja” sehingga dapat melihat bagaimana gahakaraka membuat “rumah”. “Melihat
atau Memandang” merupakan dasar atau landasan untuk mengetahui ajaran Sang
Buddha. Hal ini dikatakan sebagai inti filsafat agama Buddha.
Sattwa adalah keseimbangan. Bila sattwa yang menang atau
dominan, maka terjadi kedamaian atau ketenangan. Rajas adalah aktifitas yang
dinyatakan sebagai raga-dwesa, suka atau tidak suka, cinta atau benci, menarik
atau menjijikan. Tamas adalah yang membelenggu dengan kecendrungan untuk kelesuan,
kemalasan dan kegiatan yang dungu, yang menyebabkan khayalan atau tanpa
perbedaan. Bila sattwa lebih berpengaruh, ia mengatasi rajas dan tamas. Bila
rajas lebih berpengaruh, ia mengatasi sattwa dan tamas. Bila tamas yang lebih
berpengaruh, ia menguasai rajas dan sattwa (Sivananda, 3003: 196).
Proses evolusi dapat dilukiskan tatanan menurun sebagai
berikut: Dari perpaduan purusha dan prakrti lantas muncul mahat. Mahat arti
harfiahnya ialah besar atau maha besar. Mahat ini adalah aktualitas yang muncul
dari potensi prakrti setelah hadirnya purusha. Dengan munculnya mahat maka
evolusi bermula. Mahat merupakan dasar dari buddhi (inteligensia). Dalam proses
awal evolusi ini, mahat mengeluarkan aspek-aspek semesta dari prakrti,
sedangkan buddhi merupakan padanan dari aspek semesta yang terdapat jiwa
manusia. Buddhi bukan purusha, tetapi atman (jiwa individual) yang jumlahnya
banyak dan merupakan substansi halus dari semua proses kehidupan mental. Dari
buddhi, muncul ahamkara (rasa keakuan) dari segala sesuatu yang merupakan
prinsip individuasi.
Ada
tiga garis perkembangan yang muncul sebagai akibat dari gerak ahamkara, yaitu
sebagai berikut: Pertama, dari berkembang dan berubahnya sattva muncul manas
(pikiran yang diekspresikan), disertai lima indera dan organ motoris yang
merupakan sarana gerakan atau tindakan. Kedua, dari berkembang dan berubahnya
tamas muncul ahamkara (hawa nafsu, rasa keakuan) dan lima unsur halus,
selanjutnya lima unsure kasar. Ketiga, rajas mensuplai energi terhadap kedua
perkembangan tersebut.
Demikianlah proses evolusi dari prakrti, setelah campur
tangan purusha, menjelma 24 kategori yang keseluruhannya adalah sebagai
berikut: (a) Prakrti ; (b) Mahat, artinya yang agung, dalam jiwa manusia
disebut buddhi, yang perannya ialah mengatur informasi yang diterima dari
indera. Buddhi (budi) disebut juga sebagai common sense, akal sehat; (c) Lima
organ indera - 5 kategori; (d) Lima organ motoris atau penggerak tubuh: alat
bicara, tangan, kaki, alat pelepasan dan alat perkembangan tubuh - semuanya 5
kategori; (e) Lima unsur halus sebagai padanan panca indera, yaitu obyek
penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan dan pencecapan; (f) Lima unsur
kasar yang berasal dari lima unsur halus, yaitu ‘ruang’ dari penglihatan, ‘api’
dari penglihatan, ‘udara’ dari perabaan, ‘air’ dari pencecapan dan ‘tanah’ dari
penciuman - semuanya 5 kategori. Mahat muncul langsung dari alam; (g) Ahamkara,
prinsip ego muncul dari mahat sebagai akibat kerja tamas.
Atman adalah pribadi yang dialami dan mengalami, diri yang
dibatasi oleh jasmani dan pancaindera. Ia merupakan bagian dari alam dunia.
Setiap atman dalam diri jasmaninya memiliki tubuh halus yang dibentuk dari
sarana mental. Pancaindera termasuk ke dalam kategori tubuh halus. Ada pun
unsur halus yang ada pada alam sebagai akibat dari prakerti memiliki tiga guna
juga seperti prakrti. Karena kehadiran purusha maka atman atau diri individual
yang empiris terdiri dari dua perkara, yaitu roh yang merupakan wakil dari
purusha dan badan jasmani yang merupakan aktualisasi prakrti.
2.3
Aktualisasi Filsafat Samkhya Dan Buddha Umat Hindu Bali
Agama
Hindu dan Buddha diduga memiliki konsep ateisme (terdapat dalam ajaran Samkhya
dan ajaran Buddha) yang dianggap positif oleh para teolog/sarjana dari Barat.
Samkhya merupakan ajaran filsafat tertua dalam agama Hindu yang diduga
menngandung sifat ateisme. Filsafat Samkhya dianggap tidak pernah membicarakan
Tuhan dan terciptanya dunia beserta isinya bukan karena Tuhan, melainkan karena
pertemuan Purusha dan Prakirti, asal mula segala sesuatu yang tidak berasal dan
segala penyebab namun tidak memiliki penyebab. Sama halnya dengan ajaran
filsafat Buddha yaitu tidak pernah menyebut/membicarakan Tuhan, karena ajaran
in lebih beorientasi kedalam diri untuk mencapai pencerahan agung. Oleh karena
itu menurut filsafat Samkhya, Tuhan tidak pernah campur tangan. Ajaran filsafat
ateisme dalam Hindu tersebut tidak ditemui dalam pelaksanaan Agama Hindu Dharma
di Indonesia, namun ajaran filsafat tersebut (Samkhya) merupakan ajaran
filsafat tertua di India. Ajaran ateisme dianggap sebagai salah satu sekte oleh
umat Hindu Dharma dan tidak pernah diajarkan di Indonesia.
Didalan ajaran
agama Hindu dan Buddha di Indonesia dan di Bali pada khususnya, aktualisasi
atau penerapan dari ajaran Samkhya diwujudkan dengan pemujaan-pemujaan seperti
pemujaan pada lingga-yoni sebagai perwujudan dari purusa dan prakerti yang
merupaka simbol dari penciptaan alam semesta atau perwujudan Tuhan itu sendiri.
Dan untuk agama Buddha memuja Stupa dan Patung Buddha sebagai simbol
penghormatan terhadap ajaran-ajaran dari Buddha.
Petunjuk yang lebih jelas lagi mengenai lingga terdapat pada
kitab Lingga Purana dan Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung. Di dalam lingga
purana disebutkan sebagai berikut: ”Pradhanam prartim tatca ya dahurlingamuttaman.
Gandhawarna rasairhinam sabdasparsadi warjitam”.Artinya: Lingga awal yang mula-mula tanpa bau, warna, rasa,
pendengaran dan sebagainya dikatakan sebagai prakrti (alam).
Didalam perkembangan ajaran Samkhya
di Bali tidak terlepas dari sejarah perkembangan agama Hindu di Indonesia dan demikian juga merupakan kelanjutan dari
perkembangan agama Hindu di India. Sejarah perkembangan agama Hindu di Bali
diduga mendapat pengaruh dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Masuknya agama Hindu
di Bali diperkirakan sebelum abad ke-8
Masehi, karena terbukti berupa gambar dan cerita yang dipahat pada prasasti
yang ditemukan didesa Pejeng, Gianyar yang berbahasa Sanskerta. Bila ditinjau
dari bentuk huruf diduga sejaman dengan
meterai tanah liat yang memuat mantra Buddha yamg dikenal dengan “Ye te mantra”, dan diperkirakan berasal
dari tahun 778 Masehi.pada baris pertama dalam prasasti tersebut menyebutkan
kata “Sivas” atau lingga-yoni yang merupakan perwujudan dari purusa dan
prakrti yang merupakan proses terciptanya alam yang oleh para ahli yaitu Dr. R
Goris menduga bahwa dari sana merupakan awal dari terbentuknya/adanya radaya
atau Sekte yang berkrmbang di Bali (http://id.wikipedia.org./wiki/sejarah
hindu bali,2011).
Agama Buddha
tidaklah asing bagi masyarakat Bali, karena di pulau ini pernah tercatat
berkembangnya agama Buddha. Catatan ini membuktikan Agama Buddha pernah menjadi
salah satu agama masyarakat Bali dan membuktikan pula bahwa agama Buddha
memiliki landasan filosofi moral cinta kasih yang universal sehingga mampu
hidup berdampingan dan menyatu dengan agama-agama (sekte-sekte) lain secara
harmonis.
Agama
Buddha di Bali dikatakan telah bersatu dengan agama Hindu atau yang disebut
dengan Siwa, mencakup Brahma, Wesnawa, Indra dan lain-lain, secara singkat
disebut Hindu-Bali, yaitu agama Hindu yang berkembang di Bali. Sugriwa (dalam
rema, 2011: 23) mengatakan, kiranya pendapat ini sangat penting untuk ditiru pada
zaman sekarang, bahwa tujuan penyatuan agama Buddha dan Hindu adalah untuk
mempersatukan kebangsaan. penyatuan ini berhasil karena filsafat Buddha dan
Hindu itu memiliki kesamaan. Karena adanya sikap mengutamakan persatuan bangsa,
mencakup semua golongan, maka inisiatif penyatuan ini adalah suatu yang amat
penting. Sebagai bukti bahwa agama yang diturunkan Tuhan memiliki tujuan yang
sama, sehingga filsafatnya pun memiliki kesamaan, kesamaan ini karena telah
mengalami penyaringan pemikiran dan pengolahan pada zaman kerajaan di Jawa
Timur seperti jaman raja Krta Rajasa, Airlangga, Dharmawangsa Teguh, sehingga
dalam berbagai naskah di Bali dijumpai penyatuan tersebut. Seperti pernyataan
Sugriwa (dalam Rema, 2011: 24) berikut.
Agama Budha di Bali adalah aliran dari
Jawa Timur dahulu yang berlainan sedikit dengan keadaan agama Budha ditempat
lain, terutama di India. Agama budha di Bali telah dan dapat dipersatukan
dengan agama Siwa termasuk Brahma, Wesnawa, Indra dan bagian-bagianya yang lain
yang disebut dengan singkat dengan nama : Hindu-Bali yaitu agama Hindu yang
berkembang di Bali. Hal ini dapat dicapai dari dua jurusan yaitu : 1. untuk
mempersatukan kebangsaan dan 2. memang filsafatnya sama.
Pernyataan I gusti Bagus Sugriwa
sejalan dengan yang tertuang didalam “Kakawin
Sutasoma”
gubahan Empu Tantular membuktikan
adanya sinkritisme antara agama Hindu dengan agama Buddha, yang berbunyi;
“Hyang
Buddha tanpahi Civa Raja deva, rvanekadhatu vinuvus, vara-Buddha vicya,
bhinneki rakya ring apan kena parvvanosen, mangka jinatva lavan Civatatva
tunggal, bhinneka tunggal ika tan hana dharmma mangrva”
Terjemahan
:
Dewa Buddha tidak
berbeda dari Civa, Mahadewa di antara dewa-dewa, keduanya dikatakan mengandung banyak unsur;
Buddha yang mulia adalah kesemestaan, bagaimanakah mereka yang boleh dikatakan
tak terpisahkan dapat begitu saja dipisahkan menjadi dua? Jiwa Jina dan jiwa
Civa adalah satu. Mereka memiliki ciri-ciri berlainan, tetapi mereka adalah;
dalam Hukum tidak terdapat dualism (Kern. J.H.C dan W.H. Rasser, 1982: 26).
Hal ini menandakan bahwa pengaruh Buddha
sangat besar terhadap agama Hindu di Indonesia dan Bali khususnya, baik Hindu
bersifat Saiwaistis maupun Hindu yang Waisnawaistis, karena meurut J.H.C. Kern
dalam bukunya “Ҫiva Dan Buddha” menyebutkan bahwa Wisnu
dan Siwa adalah satu, seperti Buddha dan Siwa adalah satu sesuai dengan dengan
apa yang disebutkan oleh Empu Tantular dala Kakawin Sutasoma tersebut.
Menyikapi isi Kakawin Sutasoma, maka J.H.C.
Kern menyebutkan bahwa Buddha sama dengan Wisnu, karena Buddha disamakan
dengan Hari, sedangkan Hari adalah nama lain dari Wisnu, disamping itu
Buddha Mahayana tidak pernah mengingkari bahwa unsur-unsur Buddhisme berasal
dari unsur-unsur Wisnuis (Kern. J.H.C dan W.H. Rasser, 1982: 26).
Hal ini juga diperkuat oleh Kitab Purana
yang menyebutkan bahwa Buddha adalah Awatara Wisnu. Sehingga dalam sinristisme
antara Hindu dan Buddha di Indonesia lebih-lebih Buddha yang telah kena
pengaruh Tantrayana sangat kental sekali. Bahkan pengaruh Buddha tidak hanya di
jawa, namun juga sampai ke Bali, dengan berbagai bukti-bukti peninggalan
stupika-stupika dan patung-patung Buddha di Pura Goa Gajah dan Pura Mengening
di Tampak Siring, arca Boddhisatwa Padmapani di Pura Galang Sanja, Pejeng dan
lain-lainnya.
Menurut Dr. W.F. Stutterheim (dalam Sastra,
2008: 218), bahwa aliran Buddha Mahayana sudah ada di Bali pada abad ke 8
Masehi sehingga ajaran Saiwa Siddhanta Indonesia merupakan perpaduan ajaran Saiwa
Gama, Waisnawa Gama, Tantrayana, Saktha, Buddha Mahayana, Bhuwana Kosa,
Whraspati Tattwa, Ganapati Tattwa, Mahajnana, Tattwajnana, Jnanasiddhanta
dan lain-lainnya. Konsep inilah yang kini diwariskan oleh Hindu di Indonesia,
sedangkan pada saat prakteknya dan pelaksanaannya dilaksanakan oleh umat Hindu
khususnya di Bali.
Sama halnya dengan ajaran filsafat Buddha, yang berkembang
di Bali dalam ajaran filsafat Samkhya yaitu kesaman atau kesetaraan antara
Purusa dan prakrti atau antara laki-laki dan perempuan. Masyarakat Bali
mayoritas beragama Hindu, dalam Agama Hindu yang disebut sebagai pemimpin
adalah seseorang yang memiliki karakter atau sifat/bakat kepemimpinan. Terkait
dengan sifat/karakter atau bakat, kitab suci Hindu menyebutnya sebagai varna.
Dimana kata varna yang berasal dari bahasa Sanskerta berasal dari urat kata
“Vr” yang artinya pilihan bakat dari seseorang (Titib, 1996: 10). Varna yang
memiliki bakat kepemimpinan yang menonjol disebut ksatriya yang berarti memberi
perlindungan. Varna ini tidak membedakan antara laki dan perempuan, juga bukan
pada faktor keturunan, tetapi lebih pada sifat, bakat dan kemampuan. Sifat,
bakat dan kemampuan ini merupakan unsur perpaduan purusa dan prakerti.
Di dalam ajaran filsafat yang berkembang di Bali tentang
etika Samkhya tidak membedakan seseorang atas golongannya untuk mempelajari
kitab suci Veda. Setiap orang dianjurkan untuk mengendalikan pikiran agar
terjadi keseimbangan di dalam dirinya sendiri dan lingkungannya. Menurut
Samkhya pribadi yang tampak bukanlah pribadi yang sebenarnya melainkan
khayalan, pribadi yang sesungguhnya adalah purusa
atau roh itu sendiri.
Tujuan akhir dari ajaran Samkhya sama dengan ajaran Buddha
yaitu adalah kelepasan, hanya dari
segi cara pandangnya dan objeknya saja yang membedakan. Samkhya mengajarkan Kelepasan
dapat dicapai oleh seseorang bila ia menyadari bahwa purusa tidak sama dengan alam pikiran, perasaan dan badan jasmani.
Bila seseorang belum menyadari akan hal itu, maka ia tidak akan dapat mencapai
kelepasan. Akibatnya ia mengalami kelahiran yang berulang-ulang (samsara/punarbhawa). Jalan untuk
mencapai kelepasan adalah melalui pengetahuan yang benar, latihan kerohanian
yang terus-menerus untuk merealisasikan perbedaan purusa dan prakerti dan
cinta kasih terhadap semua mahluk (tatwam
asi). Dengan demikian Samkhya menekankan
pada jalan jnana dalam wujud wiweka dan kebijaksanaan untuk
melepaskan purusa dari jebakan prakerti (tri guna).
III. Kesimpulan
Berdasarkan
analisis yang telah dilakukan, maka dapat digarisbawahi beberapa hal sebagai
sebuah kesimpulan, yaitu bahwa ajaran filsafat Samkhya dan filsafat Buddha adalah
salah satu sistem filsafat India,yang merupakan dua hal yang berbeda tetapi
memiliki kesamaan dalam ajaran filsafatnya. Samkhya dikelompokkan kedalam
Astika (ortodok) dan Buddha dikelompokan kedalam Nastika. Jika dilihat dari
bentuk katanya, jadi secara harfiah Samkhya berarti bilangan bersama-sama. Kata
Samkhya digunakan dalam Sruti dan Smerti, dimana masing-masing digunakan dalam
pengertian pengetahuan dan tindakan, sehingga kata
Samkhya ini juga memiliki arti pengetahuan yang benar. sistem ini memberikan 25
prinsip terjadinya alam semesta setelah dua asas yaitu purusa dan prakerti
sehingga berkembanglah sebagai penyusun alam semesta dan tubuh
manusia itu sendiri.
Meskipun Samkhya kadangkala dikatakan sebagai ajaran yang
bersifat atheistic namun Samkhya menggunakan Veda sebagai otoritas
tertingginya. Samkhya menggunakan Veda sebagai dasar pengembangan kebenaran
Hindu. Selain Veda, Samkhya juga menggunakan Chandogya Upanisad, Prashna
Upanisad, Katha Upanisad, dan Svetasvatara Upanisad. Dan yang tidak kalah
penting dalam ajaran Samkhya adalah Mahabharata yang termuat dalam kitab
Bhagawadgita.
Tujuan akhir dari ajaran Samkhya dan Buddha adalah kelepasan/kebebasan tertinggi
(pencerahan agung). Kelepasan dapat dicapai oleh seseorang bila ia menyadari
bahwa purusa tidak sama dengan alam
pikiran, perasaan dan badan jasmani tidak kekal. Jadi dalam ajaran filsafat
Samkhya dan Buddha yang di aplikasikan sebagai suatu kebijakan dalam kehidupan
yaitu merupakan penyadara akan pentingnya pemahaman dan pelaksanaan dari ajaran
tersebut sehingga baik dalam bersikap dan bertingkah laku yang baik di
masyarakat dan pada akhirnya menuju kepada arah pembebasan dari ikatan lahir
dan batin.
DAFTAR PUSTAKA
Kern,
J.H.C. dan W.H. Rassers. 1982. Ҫiva Dan
Buddha (Dua Karangan Tentang Ҫivaisme dan Buddhisme di Indonesia). Jakarta:
Djambatan.
Madja, I Ketut. 2009. Darsana (Bahan Ajar). Denpasar: IHDN.
Maswinara, I Wayan. 2006. Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darsana Samgraha). Surabaya:
Paramita.
Rema,
I Nyoman. 2011. Penyatuan Siwa-Buddha
Pemikiran I Gusti Bagus Sugriwa Tentang Agama Hindu Bali. Denpasar: Program
Pascasarjana IHDN Denpasar & Sari Kahyangan Indonesia.
Sastra,
Gde Sara. 2008. Bhujangga Waisnawa dan
Sang Trini (Bagian dari Konsep Saiwa Siddhanta Indonesia). Denpasar:
Pustaka Bali Post
Sivananda,
Sri Swami. 2003. Intisari Ajaran Hindu.
Surabaya: Paramita.
Sumawa, I Wayan dan Tjkorda Raka Krisnu. 1996. Materi pokok Darsana (Modul). Jakarta:
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha.
Titib, I Made. 1996. Veda Sabda Suci (Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita.
Zimmer, Heinrich. 2003. Sejarah Filsafat India. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://id.wikipedia.org./wiki/sejarah
hindu bali,2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar