Agama merupakan pandangan hidup dan
kepercayaan yang sifatnya absolut dan tidak dapat diperdebatkan. Agama
merupakan wahyu yang diturunkan oleh Tuhan yang berisikan pedoman bagi manusia
dalam berpikir, berkata maupun bertingkah laku, atau dengan kata lain agama
merupakan the way of live. Didalam
mempelajari tentang Ketuhanan sebagaimana diungkapkan dalam kitab Brahma Sutra
I.1.1.,merupakan hal yang amat penting dan perlu karena dengan mengenal TUHAN
secara tepat dan baik, dinyatakan sebagai jalan yang dapat mengantar manusia
kepada jalan kesempurnaan sampai kepada moksa atau nirvana. Surga dan neraka, moksa
dan samsara mempunyai arti dan hubungan yang erat sekali dengan ajaran
Ketuhanan baik dalam penghayatan maupun pengamalannya (Gede Pudja, 1999 ;1).
Ajaran Siva/Saiva merupakan satu cabang
dari agama, dimana gambaran perbedaannya adalah pemujaan bentuk phalus dari
Siva. Saiva sebagai satu agama telah ada sejak jaman pra sejarah, terbukti dari
hasil penggalian arkeologi yang di temukan di Harappa dan mahenjodaro dan
memiliki sejarah yang berlanjut paling kurang 5.000 tahun lamanya. Simbul
phallus dari Siva seperti yang diketemukan pada reruntuhan peradaban lembah
sungai Indus, yang bahkan hingga saat ini merupaka objek pemujaan diantara para
pengikut aliran Saiva, yang merupakan keyakinan hidup di seluruh bagian India
(I Wayan Maswinara, 2006 : 213).
Didalam penelitian arkeologi telah
menemukan benda-benda yang menyerupai phalus dan dasar/pondasinya yang dikenal
dengan nama yoni yang menyangga dari phalus tersebut, dipercaya sebagai lambang
atau simbol dari purusa dan pradana (laki-laki dan perempuan) yang merupakan
awal dari suatu ciptaan. Dari penemuan tersebut membawa suatu kesimpulan bahwa
pada jaman itu telah terdapat suatu bentuk kepercayaan yang merupakan pemujaan
dari Siva dan saktinya dalam bentuk lingga
dan yoni sebagai lambang dari
manifestasinya.
Tuhan sang pencipta disimbolkan sebagai lingga dan yoni yaitu merupakan sebuah awal dari terciptanya alam semesta yang
artinya dengan kekuatan dari Shakti, Siva menciptakan dunia dengan segala isinya.
Tanpa adanya Shakti, Siva tidak akan menjadi lengkap karena tujuan pada
penciptaan manusia yaitu laki-laki sempurna seperti Siva itu sendiri dan wanita
sempurna seperti Shakti.
Kata Siva berarti yang memberi
keberuntungan (kerahayuan), yang baik hati, ramah, suka memaafkan, menyenangkan,
memberi banyak harapan, yang tenang, membahagiakan dan sejenisnya. Sang Hyang
Siva didalam menggerakan hukum kemahakuasaan-Nya didukung oleh Sakti-Nya yaitu
Durga atau parwati. Hyang Siva adalah Tuhan yang Maha Esa sebagai pelebur
kembali (aspek pralaya dan pralina dari alam semesta dan segala isinya). Siva
yang sangat ditakuti disebut Rudra (yang suaranya menggelegar dan menakutkan).
Siva yang belum kena pengaruh Maya
(berbagai sifat seperti Guna, Sakti dan svabhava) disebut dengan Parama Siva,
dalam keadaan ini, disebut juga Acintyarupa
atau Niskala dan Tidak berwujud atau Impersonal God (I Made Titib,2004:213).
Kata Saiva berasal dari ajaran yang memuja
dewa Siva sebagai dewa yang utama, berarti sekte Saiva adalah kelompok atau
kumpulan orang-orang yang memuja serta menempatkan Dewa Siva pada tempat yang
utama. Jadi Saiva adalah ajaran untuk memcapai jalan menuju kepada Sang
Pencipta, atau suatu jalan untuk bersatu dengan Sang Pencipta yang berasal dari
sekte Saiva. Dalam Saiva Siddhanta menyebutkan alam dunia berasal dari Maya (
materi yang tidak murni, potensi alam semesta), yang merupakan kesatuan
nyata yang abadi, diakui sebagai nyata
adanya. Saiva Siddhanta juga diartikan sebagai Kebenaran dari Kebenaran, karena
Saiva siddhanta terdiri atas kata “Saiwa” yang berarti berkaitan dengan Siva atau
Kebenaran dan kata “Siddhanta”
berarti kesimpulan akhir. Dengan demikian Saiva Siddhanta berarti “Kebenaran
dari Kebenaran”, karena ia sebagai sistem dari filsafat kebenaran, karena yang
didapat didalam sistem ini merupakan suatu kebenaran akhir yang tidak perlu
lagi dipertanyakan (Drs. Gde Sara Sastra, M.Si.,2008:192).
Ajaran agama Hindu di Bali tampak sangat
berbeda dengan ajaran agama Hindu yang ada diluar Bali. Meskipun demikian,
secara filsafat Hindu di Bali memang tidak berbeda dengan Hindu di luar Bali
yang mendasarkan diri pada Panca Sraddha yaitu : percaya dengan adanya Tuhan,
percaya dengan adanya Atma, percaya dengan adanya Hukum Karma Phala, percaya
dengan adanya Reingkarnasi dan percaya dengan adanya Moksa/Nirvana.
Didalam perkembangan ajaran Siva di Bali
tidak terlepas dari sejarah perkembangan agama Hindu di Indonesia dan demikian juga merupakan kelanjutan dari
perkembangan agama Hindu di India. Sejarah perkembangan agama Hindu di Bali
diduga mendapat pengaruh dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Masuknya agama Hindu
di Bali diperkirakan sebelum abad ke-8
Masehi, karena terbukti berupa gambar dan cerita yang dipahat pada prasasti
yang ditemukan didesa Pejeng, Gianyar yang berbahasa Sanskerta. Bila ditinjau
dari bentuk huruf diduga sejaman dengan
meterai tanah liat yang memuat mantra Buddha yamg dikenal dengan “Ye te mantra”, dan diperkirakan berasal
dari tahun 778 Masehi. pada baris pertama dalam prasasti tersebut menyebutkan
kata “Sivas” yang oleh para ahli yaitu Dr. R Goris menduga Sampradaya
atau Sekte (http://id.wikipedia.org./wiki/sejarah hindu bali,2011).
Ajaran Siva Siddhanta sudah berkembang di
Bali. berkembangnya ajaran agama yang dianut oleh masyarakat tentunya melalui
proses yang cukup panjang, dan dapat
dikatakan Hindu Sekte Siva Siddhanta sudah masuk secara perlahan-perlahan
hingga abad ke-8 Masehi.
Dari rentetan penggambaran itulah pemujaan
dan penghormatan terhadap ajaran Siva di Bali masih tetap kental dan
terpelirara hingga saat ini. Terbukti dengan adanya tatanan-tatanan Sesana yang ada pada para Rsi Bujangga
Waisnawa yang ada di Bali dalam kedekatannya dengan konsep Siwa Sesana. Seseorang
yang akan menuju menjadi seorang
Dwijadi/lahir untuk yang kedua kalinya dari warga Bujangga Waisnawa, yang telah
berjalan dari sejak jaman dahulu dan sampai kini masih tetap di jaga dan di
budayakan sehingga menjadi warisan leluhur
yang selalu dihormati.
Ajaran Filsafat Siwa
Didalam ajaran Hindu Siva adalah salah
satu dari tiga dewa utama (Tri Murti) dalam agama Hindu. Kedua dewa lainnya
adalah Brahma dan Wisnu. Dalam ajaran agama Hindu, Dewa Siva adalah dewa
pelebur, bertugas melebur segala sesuatu yang sudah usang dan tidak layak
berada di dunia fana lagi sehingga harus dikembalikan kepada asalnya.
Tidak terbilang jumlahnya umat Hindu di
seluruh dunia memuja Sang Hyang Siva dan mereka mengikuti berbagai cara untuk
memuja-Nya. Mereka ada yang memuja dengan mengikuti tata cara kitab suci Veda
dan ada juga yang tidak, seperti juga berbentuk yang Sattvik dan juga yang
lain. Bentuk pemujaan yang tertua disebut Parasupadam (pasupatam). Hal ini
dipercaya bahwa Parasupadam suatu hari menghormati dan pada kesempatan yang
lain menentang kitab suci Veda (I Made Titib, 2001: 262).
Sivaisme
yang berkembang di India, merupakan asal mula dari agama Hindu. Berawal dari
kelahiran dan perkembangan paham Sivaisme di daerah Jammu dan Kashmir, di
sekitar pegunungan Himalaya (Parwata Kailasa). Di wilayah Jammu dan Kashmir,
terdapat lembah sungai Sindhu. Di lembah inilah cikal bakal kehadiran paham
Siwaisme pertama kali di India, dan berkembang pesat ke seluruh India, dan
wilayah diluar India, salah satunya adalah Indonesia.
Umat Hindu khususnya umat Hindu di India meyakini bahwa Dewa Siva memiliki cirri-ciri khusus yang
sesuai dengan karakternya yaitu : bertangan empat masing-masing membawa
Trisula, Cemara, Tasbih/Genetri, Kendi, bermata Tiga (Tri Netra), pada hiasan
kepalanya terdapat Ardha Chandra (Bulan Sabit), ikat pinggang dari kulit
harimau, hiasan di leher dari ular Kobra, kendaraannya yaitu lembu yang bernama
Nandini.
Penemuan barang-barang yang menunjang
pendapat yang dinyatakan oleh Mr. R.D.
Banerji tentang sebuah bejana atau tangki air yang diperlengkapi dengan saluran
yang sempit dan tertutup, yang diketemukan diharappa dan Mahenjodaro, yang
dipergunakan sebagai “Caranamrtakunda”
yaitu suatu tempat penyimpanan air suci yang dipergunakan untuk mencuci (memandikan)
patung-patung yang disakralkan, karena sampai sekarang tangki semacam itu
merupakan suatu gambaran umum dari kuil-kuil Siva.
Apabila kita menileh sejenak pada sejarah
awal dari India, kita akan mendapatkan bahwa banyak raja dan anggota kerajaan
menghormati Siva yang bahkan hingga sekarang masih tetap berdiri tegak. Kuil Pasupati di Nepal telah ada sejak Asoka
mengunjungi lembah tersebut pada
tahun 50 sebelum Masehi dan putrinya
yang bernama Carumati, yang menemaninya tetapi tetap tinggal disana ketika
ayahnya kembali, mendirikan sebuah biara wanita dibagian utara dari Pasupatinatha tersebut. Asoka sendiri
adalah seorang raja yang memuja Siva pada awal kehidupannya dan Jalauka, Swalah seorang putra dari raja
Asoka yang merupakan seorang raja Kasmir yang kuat dan aktif, bermusuhan dengan
Buddhisme dan merupakan pemuja Siva. Ia beserta permaisurinya Isanadevi, banyak mendirikan kuil-kuil
Siva, yang salah satu dinamakan “Asokesvara”
(I Wayan Maswinara, 2006:214).
Dalam perkembangan lebih lanjut pada jaman
dimana bermunculan ajaran-ajaran di India, maka munculah aliran-aliran yang
disebut paksa atau sekte dalam agama Hindu, antara lain
sekta Saiva, sekte Waisnawa, sekta Brahma, sekta Tantrayana
dan lain-lain. Sekta Saiva ialah memuja dewa Siva sebagai suatu tokoh yang
paling utama, sekta Waisnawa yatitu memuja dewa Wisnu sebagai satu-satunya
tokoh yang paling utama, sekta Brahma yaitu memuja dewa Brahma sebagai tokoh
yang paling utama dan sekte Tantrayana memusatkan pemujaan pada Dewi Durga. Tiga
dewa yaitu Brahma, Wisnu dan Siva dipuja secara horizontal, sebagai dewa Tri
Murti yang merupakan manifestasi dari Tuhan yang Maha Esa/Ida Shang Hyang Widhi
Wasa.
Inti
sari dari paham Saiva adalah Saiva sebagai realitas tertinggi, jiwa atau roh pribadi adalah intisari yang
sama dengan Saiva, walaupun tidak identik. Juga ada Pati (Tuhan), pacea
(pengikat), serta beberapa ajaran yang tersurat dalam tattva sebagai prinsip
dalam kesemestaan yang realita. Sivaisme dalam paksha Saiva Siddhanta sangat taat
dengan inti ajaran Vedanta.
Didalam
ajaran filsafat Siva, dikenal Lingga sebagai lambang Dewa Siva atau Tuhan Siva
yang pada hakekatnya mempunyai arti, peranan dan fungsi yang sangat penting
dalam kehidupan masyarakat lampau dan di masa sekarang, khususnya bagi umat
manusia yang beragama Hindu. Hal ini terbukti bahwasanya peninggalan lingga
sampai saat ini pada umumnya di Bali kebanyakan terdapat di tempat-tempat suci
seperti pada pura-pura kuno. Bahkan ada juga ditemukan pada goa-goa yang sampai
sekarang masih tetap dihormati dan disucikan oleh masyarakat setempat. Di
Indonesia khususnya Bali, walaupun ditemukan peninggalan lingga dalam jumlah
yang banyak, akan tetapi masyarakat masih ada yang belum memahami arti lingga
yang sebenarnya. Untuk memberikan penjelasan tentang pengertian lingga secara
umum maka di dalam uraian ini akan membahas pengertian lingga, yang sudah tentu
bersifat umum.
Lingga
berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tanda, ciri, isyarat, sifat khas,
bukti, keterangan, petunjuk, lambang kemaluan laki-laki terutama lingga Siva
dalam bentuk tiang batu, Patung Dewa, titik tuju pemujaan, titik pusat, pusat,
poros, sumbu. sedangkan pengertian yang umum ditemukan dalam Bahasa Bali, bahwa
lingga diidentikkan dengan : linggih, yang artinya tempat duduk, pengertian ini
tidak jauh menyimpang dari pandangan umat beragama Hindu di Bali, dikatakan
bahwa lingga sebagai linggih Dewa Siva. Petunjuk tertua mengenai lingga
terdapat pada ajaran tentang Rudra Siva telah terdapat dihampir semua kitab
suci agama Hindu, malah dalam berbagai penelitian umat oleh arkeolog dunia diketahui
bahwa konsep tentang Siva telah terdapat dalam peradaban Harappa yang merupakan
peradaban pra-Veda dengan ditemuinya suatu prototif tri mukha yogiswara
pasupati Urdhalingga Siva pada peradaban Harappa. (Agastia, 2002 : 2)
Kemudian
pada peradaban lembah Hindus bahwa menurut paham Hindu, lingga merupakan
lambang kesuburan. Perkembangan selanjutnya pemujaan terhadap lingga sebagai
simbol Dewa Siva terdapat di pusat candi di Chennittalai pada sebuah desa di
Travancore, menurut anggapan orang Hindu di India pada umumnya pemujaan kepada
lingga dilanjutkan kepada Dewa Siva dan saktinya.
Mengenai
pemujaan lingga di Indonesia, yang tertua dijumpai pada prasasti Canggal di
Jawa Tengah yang berangka tahun 732 M ditulis dengan huruf pallawa dan digubah
dalam bahasa Sansekerta yang indah sekali. Isinya terutama adalah memperingati
didirikannya sebuah lingga (lambang Siva) di atas sebuah bukit di daerah
Kunjarakunja oleh raja Sanjaya.
Dengan
didirikannya sebuah lingga sebagai tempat pemujaan, sedangkan lingga adalah
lambang untuk dewa Siva, maka semenjak prasasti Canggal itulah mulai dikenal
sekte Siva (Sivaisme) pemerintahan Gajayana di Kanjuruhan, Jawa Timur. Hal
tersebut tercantum dalam prasasti Dinoyo yang berangka tahun 760 M isi prasasti
ini antara lain menyebutkan bahwa raja Gajayana mendirikan sebuah tempat
pemujaan Dewa Agastya. Bangunan suci yang dihubungkan dengan prasasti tersebut
adalah candi Badut yang terdapat di desa Kejuron. Dalam candi itu ternyata
bukan arca Agastya yang ditemukan melainkan sebuah lingga. Maka disini mungkin
sekali lingga merupakan Lambang Agastya yang memang selalu digambarkan dalam
Sinar Mahaguru. (Soekmono. 1973 : 41-42).
Hal ini terlihat pula dari isi prasasti tersebut dimana bait-baitnya
paling banyak memuat/berisi doa-doa untuk Dewa Siva.
Petunjuk
yang lebih jelas lagi mengenai lingga terdapat pada kitab Lingga Purana dan Sivaratri
Kalpa karya Mpu Tanakung. Di dalam lingga purana disebutkan sebagai berikut:
”Pradhanam prartim tatca ya
dahurlingamuttaman. Gandhawarna rasairhinam sabdasparsadi warjitam”.
Artinya:
Lingga awal yang mula-mula tanpa
bau, warna, rasa, pendengaran dan sebagainya dikatakan sebagai prakrti (alam).
Dalam
Lingga Purana, lingga merupakan tanda pembedaan yang erat kaitannya dengan
konsep pencipta alam semesta wujud alam semesta yang tak terhingga ini
merupakan sebuah lingga dan kemaha-kuasaan Tuhan. Lingga pada Lingga Purana
adalah simbol Dewa Siva (Siva lingga). Semua wujud diresapi oleh Dewa Siwa dan
setiap wujud adalah lingga dan Dewa Siva. Kemudian di dalam Sivaratri kalpa
disebutkan sebagai berikut:”Bhatara Siwalingga kurala sirarcanam I dalem
ikang suralaya”.Artinya: Selalu
memuja Hyang Siva dalam perwujudan-Nya “Sivalingga” yang bersemayam di alam Siva.
Ada
berbagai macam bentuk dan bagian-bagian dari Lingga diantaranya yaitu Berdasarkan
penelitian dan TA. Gopinatha Rao, yang terangkum dalam bukunya berjudul
“Elements Of Hindu Iconografi Vol. II part 1” di sini beliau mengatakan bahwa
berdasarkan jenisnya Lingga dapat dikelompokkan atas dua bagian antara lain Chalalingga dan Achalalingga.Chalalingga
adalah lingga-lingga yang dapat bergerak, artinya lingga itu dapat
dipindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa mengurangi suatu arti
yang terkandung. Adapun yang termasuk dalam kelompok lingga ini adalah:
a. Mrinmaya Lingga yaitu merupakan suatu lingga yang
dibuat dari tanah liat, baik yang sudah dibakar. Dalam kitab Kamikagama
dijelaskan bahwa pembuatan lingga ini berasal dari tanah liat putih dan tempat
yang bersih. Proses pengolahannya adalah tanah dicampur susu, tepung, gandum,
serbuk cendana, menjadi adonan setelah beberapa lama disimpan lalu dibentuk
sesuai dalam kitab agama.
b. Lohaja LinggaYaitu suatu lingga yang terbuat dari
jenis logam, seperti : emas, perak, tembaga, logam besi, timah dan kuningan.
c. Ratmaja LinggaYaitu lingga yang terbuat dan jenis
batu-batuan yang berharga seperti, permata, mutiara, kristal, jamrud, waidurya,
kwarsa
d. Daruja LinggaYaitu lingga yang terbuat dari bahan
kayu seperti kayu sami, tinduka, karnikara, madhuka, arjuna, pippala dan
udumbara. Dalam kitab Kamikagama disebutkan juga jenis kayu yang digunakan
yaitu khadira, chandana, sala, bilva, badara, dan dewadara.
e. Kshanika LinggaYaitu lingga yang dibuat untuk
sementara jenis-jenis lingga ini dibuat dari saikatam, beras, nasi, tanah
pekat, rumput kurcha, janggery dan tepung, bunga dan rudrasha. Sedangkan yang
dimaksud dengan Achala lingga, lingga yang tidak dapat dipindah-pindahkan
seperti gunung sebagai linggih Dewa-Dewi dan Bhatara-Bhatari. Di samping itu
pula lingga ini biasanya berbentuk batu besar dan berat yang sulit untuk
dipindahkan. I Gusti Agung Gde Putra dalam bukunya berjudul : “Cudamani, kumpulan
kuliah-kuliah agama jilid I”, menjelaskan bagian lingga atas bahan yang
digunakan. Beliau mengatakan lingga yang dibuat dari barang-barang mulia
seperti permata tersebut Spathika lingga,
lingga yang dibuat dari emas disebut Kanaka
lingga dan bahkan ada pula dibuat dari tahi sapi dengan susu disebut Homaya lingga, lingga yang dibuat dari
bahan banten disebut Dewa-Dewi, lingga yang biasa kita jumpai di Indonesia dari
di Bali khususnya adalah Linggapala
yaitu lingga terbuat dari batu.
Jadi
lingga merupakan simbol Siwa yang selalu dipuja untuk memuja alam Siva. Kitab
Lingga Purana dan Sivaratri Kalpa karya Mpu Tanakung ini semakin memperkuat
kenyataan bahwa pada mulanya pemujaan terhadap lingga pada hakekatnya merupakan
pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam wujudnya sebagai Siwa.

Mereka
yang memasang Lingga Siva akan tinggal
di Kailasa seperti Siva sendiri. Hal yang paling banyak mendatangkan pahala
adalah memasang Lingga Siva, ini disebut dengan Pratisthana. Jika kita memiliki
Lingga, maka patungnya pun bisa dipasang, dan tempat dimana patung itu dipasang
akan menjadi Siva Kshetra (Dr. V.V.B
Rao, 2008:13).
Siva Sesana Umat Hindu Di Bali
Belum
dapat dipastikan, kapan agama Hindu dan ajarannya muncul di Indonesia. Demikian
pula siapa yang membawa agama Hindu ke Indonesia, belum diketahui secara jelas.
Dari data-data yang sementara memberi gambaran bahwa agama Hindu muncul di
Indonesia diperkirakan sejak permulaan abad Masehi. Meskipun demikian namun
kontak-kontak pendahuluan mengenai hubungan Indonesia dengan India telah
terjadi jauh sebelumnya.
Perkembangan
dan penyebaran agama Hindu di Indonesia dan di Bali pada khususnya, tidak
terlepas dari peranan tujuh tokoh suci yang mengembangkan ajaran Hindu yaitu
diantaranya seperti Maha Rsi Markandeya
yang pada abad ke-8 mendapatkan penceraha di Gunung Di Hyang yang sekarang
menjadi Dieng di daerah JawaTimur. Dan sampai ke Bali hingga mendirikan pura
yang bernama Besakih dan menggunakan sarana Banten sebagai alat atau sarana
dalam upacara. Setelah Dhang Hyang Markandeya moksa, Mpu Sangkul Putih meneruskan dan melengkapi ritual keagamaan dengan
membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten yang
diciptakan. Yang ketiga adalah Mpu
Kuturan yang mendapat mandat dari raja Maja Pahit untuk mengembangkan
ajaran Hindu dan membentuk sekte-sekte yang ada di Bali dan masing-masing sekte
tersebut memuja dewa tertentu sebagai ista dewatanya. Yang ke empat adalah Mpu Manik Angkeran yang merupakan
kelanjutan dari Mpu Sangkul putih yang merupakan putra dari Dang Hyang
Siddimantra, yang ke lima adalah Mpu
Jiwaya yang merupakan penyebar agama Buddha Mahayana aliran Tantri pada
masa Dinasti Warmadewa (abad ke-9).kemudian yang keeman adalah Dhang Hyang Dwijendra datang ke Bali
pada abad ke-14 ketika kerajaan Bali dipimpin oleh Dalem Waturenggong, yang
merupakan pencetus pemujaan Hyang Widi dalam manifestasinya sebagai Tri Purusa
(Siva, Sadha Siva dan Parama Siva).yang ketujuh yaitu Sri Wilatikta Brahmaraja
XI yaitu pada abad 21 datang ke Bali sesuai dengan visi dan misi untuk
menegaskan kembali peradaban Hindu Bali dengan mempertebal keyakinan umat terhadap
Leluhur/Kawitan dengan praktek nyata membuat dan memelihara kembali palinggih
Stana Kawitan pusat di di seluruh Jawa dan Bali.
Dari
sekte-sekte yang berkembang di Bali, sekta Siva/Saiwa yang paling dominan.
Terbukti dalam Lontar Tutur Gong Besi disebutkan yaitu tentang naskah yang
memuat ajaran Siwaistik(Siva). Didalam naskah yang terdapat didalam lontar
tutur Gong Besi dijelaskan tentang arti kata Surga Loka dan Siva Loka. Surga
Loka artinya kebahagian lahir batin pada tempat yang langgeng atau abadi, dan
Siva Loka artinya Istana atau stana Dewa Siva sebagai manifestasi dari Tuhan,
Surga Loka atau Siva Loka artinya mendapat kebahagiaan lahir batin pada tempat
yang langgeng atau abadi disisi Tuhan.
Dalam realisasinya, tata pelaksanaan
kehidupan umat beragama di Bali juga menampakkan perpaduan dari unsur - unsur
kepercayaan nenek moyang. Wariga, Rerainan (hari raya) dan Upakara sebagian
besarnya merupakan warisan nenek moyang. Warisan ini telah demikian berpadu
serasi dengan ajaran Agama Hindu sehingga merupakan sebuah satu kesatuan yang
bulat dan utuh. Dengan demikian, Agama Hindu di Bali mempunyai sifat yang khas
sesuai dengan kebutuhan rohani orang Bali dari jaman dahulu hingga sekarang. Di
masa sekarang ini, warisan Agama yang adhiluhung tersebut perlu di jaga, rawat
dan menyempurnakan pemahaman sehingga tetap bisa memenuhi kebutuhan jiwa
keagamaan umat Hindu.
Walaupun sumber - sumber ajaran Agama
Hindu di Bali berasal dari kitab - kitab berbahasa Sansekerta, namun sumber -
sumber tua yang kita warisi kebanyakan ditulis dalam dua bahasa yaitu Bahasa
sansekerta dan Bahasa Jawa Kuno. Kitab yang di tulis dalam bahasa Sansekerta
umumnya adalah kitab Puja, namun bahasa Sansekerta yang digunakan adalah bahasa
Sansekerta kepulauan khas Indonesia yang sedikit berbeda denga bahasa
Sansekerta versi India. Sedangkan kitab - kitab yang ditulis dalam bahsa jawa
kuno antara lain Bhuwanakosa, Jnana Siddhanta, Tattwa Jnana, Wrhaspati tatwa
dan Sarasamuscaya. Kitab Bhuwanakosa, Jnana Siddhanta, Tattwa Jnana dan Wrhaspati
Tattwa adalah kitab – kitab Tattwa yang mengajarkan Siwa Tattwa yang mana juga
kitab - kitab ini menjadi unsur dari isi Puja. Sedangkan Sarasamuscaya adalah
kitab yang mengajarkan susila, etika dan tingkah laku.
Disamping itu juga terdapat banyak
lontar - lontar induk yang menjadi rujukan pelaksanaan kehidupan umat beragama
dan bermasyarakat di Bali seperti lontar Wariga, lontar tentang pertanian,
pertukangan, organisasi sosial dan yang lainnya. Disamping itu juga terdapat
kitab - kitab Itihasa dan gubahan - gubahan yang berasal dari purana, seperti
Parwa ( kisah Maha Bharata), Kanda (Ramayana) dan juga kekawin - kekawin yang
menjadi alat pendidikan dan pedoman dalam bertingkah laku bagi masyarakat.
Itihasa dan purana juga menjadi sumber dalam kehidupan berkesenian di Bali
terutama kesenian yang masuk kategori Wali atau sakral, seperti wayang, topeng,
calonarang dan yang lainnya, yang mana pementasan kesenian tersebut umumnya
mengangakat tema cerita yang berasala dari Itihasa, purana atau kekawin. Tidak
semua pelaksanaan kehidupan beragama di Bali yang dapat dirujuk kedalam sumber
- sumber ajaran sastra agama, yang dikarenakan Agama Hindu di Bali begitu
menyatu dengan Budaya, adat, seni dan segala aspek kehidupan orang Bali, sehingga
banyak warisan budaya para leluhur orang Bali yang tetap diwariskan turun -
temurun dan menjadi satu kesatuan denga Agama Hindu di Bali.
Kalau diamati ternyatalah bahwa agama
Hindu di Indonesia dan di Bali adalah agama Hindu yang memuja Bhatara Siwa
sebagai Tuhan yang tertinggi. Sanghyang Widhi Wasa adalah sebutan Tuhan yang
amat umum. Bhatara Siwa adalah Sanghyang Widhi sendiri, dan didalan ajaran
filsafat Siwa yang ada di Bali dikenal istilah yang di sebut dengan Sesana atau
Siwa Sesana.
Di dalam Siwa Sasana disebutkan adanya
“paksa-paksa (sekte)”- Saiwa yaitu Saiwa Siddhanta, Waisnawa, Pasupata, Lepaka,
Canaka, Ratnahara dan Sambhu. Diantara nama sekte-sekte itu yang masih sampai
sekarang ialah Saiwa Siddhanta. Untuk menamakan ajaran agama Hindu Indonesia.
Bila diamati ternyata lainlah Saiwa Siddhanta Indonesia dengan Saiwa Siddhanta
di India. Saiwa Siddhanta Indonesia merupakan kristalisasi dari berbagai ajaran
agama Hindu khususnya dari kitab-kitab Purana. Sehubungan dengan itu maka Saiva
Indonesia kadang-kadang disebut Saiwa Purana. Siwa Sasana adalah sasana untuk
pandita Saiwa. Karena agama Hindu Indonesia memuja Bhatara Siwa, maka Siwa
Sasana adalah untuk semua sulinggih Hindu Indonesia.
Dalam Siwa Sasana penggunaan kata-kata sadhaka dang upadhyaya sering
benar, kadang-kadang berselang-seling. Semuanya menunjuk pada seseorang yang
melaksanakan hidup kerohanian sebagai pandita. Acarya dan dang upadhyaya lebih
cenderung berarti seorang pandita guru. Disamping itu ada pandita yang disebut
dang acarya wrddha pandita, sriguru pata, dang upadhyaya pita maha, prapita
maha, dan bhagawanta yang masing-masing berarti pandita guru yang agung, guru
yang mulia yang senang membaca, kakek guru, kakek yang agung, dan bhagawan.
Perbedaan diantara para pandita tersebut didalam Siva Sasana tidak dijelaskan.
Siva Sasana ini ditunjukan untuk dilaksanakan dengan tujuan agar mereka dapat
mempertahankan martabatnya sebagai pandita, dan menegakkan dharmanya. Suatu
uraian yang panjang dalam lontar ini ialah uraian tentang syarat-syarat seorang
acarya yang dapat dijadikan guru dan yang harus dihindari sebagai guru.
Berbicara
masalah tatanan dan sesana Ida Rsi Bhujangga Waisnawa dalam kedekatannya dengan
konsep Siva Sesana, maka terlebih dahulu aka diuraikan tentang tatanan
seseorang yang akan menuju menjadi seorang Dwijati dari warga Bhujangga
Waisnawa, yang telah berjalan dari sejak jaman dahulu dan sampai kini ,
sehingga menjadi warisan leluhur yang selalu dihormati. Untuk itu seorang “Calon Diksita” harus mempersiapkan
diri terlebih dulu sesuai dengan
aturan-aturan yang berlaku di dalam Warga Bhujangga Waisnawa tersebut yaitu:
·
Warga Bhujangga Waisnawa yang
berasal dari keturunan sulinggih, dimana sebelumnya sudah ada yang melakukan
Dwijati di tempat itu, yang disebut “Tunggak
Griya” memiliki pengetahuan tentang agama
dan kesulinggihan, serta sehat rohani dan jasmani ( tidak cacat)
memiliki budi pekerti serta tingkah laku yang baik.
·
Warga Bhujangga Waisnawa diluar
keturunan langsung Gria, yang telah
memiliki kemampuan untuk ma-Dwijati,
baik kemampuan dalam ilmu serta pengetahuan tentang kesulinggihan maupun
kemampuan fisik yang dalam hal ini sehat rohani dan jasmani ( tidak cacat),
memiliki budi pekerti serta tingkah laku yang baik (Drs. Gde Sara Sastra, M.Si, 2008:234).
Apabila syarat-syarat atau hal tersebut telah di penuhi maka calon
Diksita akan mempersiapkan diri untuk bertemu Sadhaka Dang Acharya yaitu Rsi
Bujangga Nabe/Guru, untuk mempohon kesediannya menjadi Nabe atau Guru Diksa
atau pengangkatan untuk menjadi seorang sulinggih.
Tentunya dalam memilih Guru Nabe haruslah menggunakan Viveka atau
kecerdasan dengan menggunakan syarat-syarat tertentu sebagai pertimbangan dalam
memilih Guru Nabe yang benar-benar baik. Ini amat berat sehingga sukarlah kita
mendapatkan acarya seperti itu. Walaupun demikian syarat-syarat ini
mencerminkan acarya yang ideal. Syarat-syarat acarya yang baik
dijadikan guru ialah :
1.
Berkepribadian baik
2.
Sastrawan
3.
Ahli Veda
4.
Menguasai hawa nafsu
5.
Taat melaksanakan brata
6.
Senior dalam umur
7.
Ahli bahasa
Pandita juga disebut Sang Dwijati karena telah lahir dua
kali. Kelahiran pertama dari rahim Ibu, sedangkan kelahiran kedua dari Weda
(Mantram Sawitri atau Gayatri). Kelahiran kedua ini terlaksana dalam proses
Diksa yang diselenggarakan oleh Nabe sebagai Guru Putra. Pandita juga disebut
Sang Sadaka, artinya orang yang sudah melaksanakan/ merealisasikan sadhana
sehari-hari.
Pengertian sadhana seperti yang tertulis dalam Lontar
Wrehaspati Tattwa adalah tiga jalan menuju Sang Hyang Wisesa Paramartha (Tuhan
YME), yaitu Yoga yang terdiri dari:
1. Jnanabhyudreka (mengerti ajaran
tattwa),
- Indriyayogamarga (tidak terikat oleh indra),
- Tresnadosaksaya (dapat menghilangkan pahala perbuatan).
Dalam Lontar Ekapratama, Sang Sadaka disebut pula sebagai
“Sang Katrini Katon”, yaitu “Wakil Hyang Widhi di dunia yang terlihat oleh
manusia sehari-hari”.
Acarya krta diksita yaitu
acarya yang menjadi gurunya guru ialah acarya keturunan sadhaka yang memang
disiapkan untuk menjadi acarya. Ia juga disebut dang upadhyaya. Acarya yang
demikianlah tempat orang mohon sangaskara (penyucian) dan bhasma (abu
suci). Dia yang di-sangaskara oleh acarya seperti itu akan :
1.
Hilang nodanya
2.
Hilang papanya
3.
Bebas dari mara bahaya
4.
Bebas dari duka nestapa
Tatanan pelaksanaan upacara Dwijati, ada 3 (tiga) orang Guru Nabe
yang terlibat didalam pelaksanaan Dwijati tersebut yang pertama Guru Nabe Upadayaya, yaitu Sadhaka yang
bertugas “Napak” calon Diksita pada
upacara pedwijatian, yang kedua adalah Guru
Waktra, yaitu yaitu Sadhaka yang bertugas memberikan dan mengajar calon
Diksita tentang “Sesananing Kesulinggihan”
atas petunjuk Guru Nabe Upadayaya dan yang ketiga adalah Guru Saksi, yaitu Sadhaka yang bertugas Menyaksikan pelaksanaan upacara “Mepodgala” atau upacara Padwijatian sehingga calon Diksita
betul-betul sah menjadi seorang sulinggih.
Selanjutnya Sisia
diterima secara resmi menjadi murid/ putra dengan upacara “meperas” sekaligus
pawintenan menjadi “Jero Gde”. Sejak saat itu Jero Gde “aguron-guron” (belajar
teori dan praktik) menjadi Pandita sambil mempersiapkan mental dan perilaku
suci agar memenuhi persyaratan spiritual. Lamanya masa aguron-guron ini tergantung
pada penilaian Nabe, apabila dinilai sudah cukup matang maka calon Diksa
mempersiapkan kelengkapan administrasi seperti:
1.
Surat permohonan mediksa kepada
PHDI Kabupaten.
- Keterangan: berbadan sehat, berkelakuan baik, riwayat hidup, riwayat pendidikan, persetujuan istri, dukungan warga (dadia), dan pas-foto.
Setelah menerima surat permohonan itu, PHDI mengadakan
penelitian baik kepada calon Diksa maupun kepada Nabe-nya. Seterusnya diadakan
Diksa Pariksa (ujian lisan) oleh PHDI. Apabila dinyatakan lulus dan memenuhi
syarat maka dikeluarkanlah Surat Ijin Madiksa oleh PHDI.
Puncak upacara Madiksa didahului dengan upacara “seda raga”
yaitu “penyekeban” sekitar 12-24 jam untuk menghilangkan “sadripu” calon Diksa.
Setelah seda raga, dilaksanakan upacara Diksa sehingga lahirlah seorang Dwijati
yang sudah berubah dibanding ketika masih “walaka” yaitu:
1. Amari Sesana, artinya perubahan
kebiasan dan disiplin kehidupan,
- Amari Aran, artinya perubahan nama (Bhiseka),
- Amari Wesa, artinya perubahan tata berpakaian.
Fungsi Sulinggih yaitu memimpin warga dalam upaya mencapai
kebahagiaan rohani sesuai dengan perannya sebagai “Guru Loka” dan “Ngelokaparasraya”
yaitu menjadi sandaran/ tempat bertanya tentang kerohanian, pelindung/ penuntun
dan pengayom masyarakat di bidang Agama Hindu, memberi petunjuk dan bimbingan
di bidang tattwa, susila, dan upacara, “muput” upacara ritual atas permintaan
warga serta Tugas seorang Sulinggih adalah mensejahterakan kehidupan masyarakat
melalui jalur spiritual.
Di zaman Kali seperti sekarang ini tugas Sulinggih sudah
sangat-sangat berat karena getaran-getaran serta rangsangan untuk berbuat
adharma tidak hanya terjadi pada umatnya saja tetapi juga bisa terjadi pada
diri Sulinggih, sehingga perilaku kebanyakan manusia di zaman Kali mempunyai
ciri-ciri antara lain:
1. Atyanta Kopah, yaitu sifat yang
mudah marah apabila keinginannya tidak tercapai.
- Katukaa cawani, yaitu suka berkata-kata kasar, membentak, berbohong, menipu, dan memfitnah karena merasa kepentingannya terancam.
- Daridrata, yaitu sifat lobha atau tidak pernah puas dengan apa yang sudah dimiliki, kikir, malas ber-dana punia atau membantu orang lain yang ditimpa kesusahan.
- Swajanesu wairan, yaitu tega memusuhi keluarganya sendiri karena didorong oleh kepentingan pribadi.
- Niica prasangga, yaitu melakukan swadharma bukan dari hati nurani yang suci, tetapi demi harta kekayaan tanpa memperhatikan segi-segi sosial.
- Kulahiina sewa, yaitu bersahabat dengan orang-orang bejat.
Sulinggih mestinya sudah mampu mengendalikan
diri agar tidak terkena godaan-godaan Sad Ripu serta teguh pada norma-norma
kesulinggihan antara lain teguh melaksanakan yama brata, niyama brata, trikaya
parisudha, setelah berhasil mensucikan diri dan memperkuat pertahanan dari
getaran-getaran adharma barulah ia dapat memenuhi swadharmanya sebagai Adi Guru
Loka Namun demikian untuk mencapainya tidak sedikit kendala yang dihadapi
Sulinggih dan lembaga kesulinggihan di masa kini
Seorang yang sudah menjadi seorang Sulinggih
dalam berprilaku dan berwatak hendaknya menjadi orang yang beretika, sopan,
jujur, baik dalam pikiran, perkataan maupun perbuatan. Dalam kata lain orang
yang sudah di Dwijati, harus melaksanakan Tri Kaya Parisudha, dalam kehidupan
sehari-hari. Disamping itu seseorang yang sudah di Dwijati harus melaksanaka
Guru Susrusa, yaitu hormat kepada Guru lebih-lebih kepada Guru Nabe sebagai
sisia yang Diksita harus tunduk pada Guru Nabe.
Tatanan-tatanan ini tidak jauh berbeda dengan
tatanan yang ada dalam Siva sasana, yang menjadi pijakan dari semua Sadhaka
yang ada di Bali, baik itu dari Sadhaka golongan Saiva, Waisnawa ataupun dari
Buddha.
Dari hal tersebut yaitu bahwa Sasananing Sang Rsi Bhujangga
tidak lepas dari lontar Siva Sasana, yang kini menjadi acuan dasar
bagi para Sadhaka didalam melaksanakan kewajibannya sebagai seorang yang telah
melepaskan diri dari dunia Walaka, dan menjadi seorang Sadhaka yang diikat oleh
sesana-sesana Kawokon sesuai dengan
yang ada didalam Lontar Siwa Sesana
tersebut. Ini bearti “Sasananing” I
da Rsi Bhujangga tidak jauh dengan konsep dalam Lontar Siwa Sesana.
Karena swadharma
uttama para pandita adalah melayani umat dalam upaya meningkatkan pemahaman
akan ajaran suci Veda, maka untuk melancarkan tugas-tugasnya itu dibutuhkan
kepedulian umat dalam meringankan tugas-tugas beliau. Tugas pandita untuk
menanamkan nilai-nilai suci ajaran Veda tidaklah mudah, dibutuhkan kecerdasan,
keuletan, kesabaran, pengetahuan, kesehatan, dan ketenangan batin. Itulah
sebabnya Rsi Yajna itu dapat
diwujudkan dalam bentuk Rsi Bhojana
yaitu upacara keagamaan yang dilaksanakan dengan cara menjamu para pandita dengan menyuguhkan makanan dan
minuman yang pantas (I Ketut Donder, 2007:369-370).
Jadi telah jelas dipaparkan tentang
perubahan dari awal ajaran Siva yang berasal dari India dan masuknya ajaran Siva
ke Indonesia hingga sampai dan berkembang di Bali, yang pada saat ini masih
tetap hidup dan berkembang di Bali. Meskipun ada kesan berbeda dari ajaran Siva
yang ada di India dengan ajaran Siva yang ada di Bali, namun secara garis besar
inti dari ajaran Siva itu tetaplah sama yaitu bersumber pada ajaran tentang
cinta kasih/kasih sayang dan kedekatan kepada pemuja dan yang di puja yaitu
kepada Siva khususnya sebagai manifestasi dari Tuhan yang Maha Esa/Ida Sang
Hyang Widi Wasa. Hanya tempat, waktu dan keadaan yang seolah-olah membentuk
suatu karakter pemujaan yang terlihat berbeda.
Karena pada dasarnya Tuhan hanya satu tidak
ada duanya, hanya Ia memanifestasikan dirinya untuk mengambil dan menjalankan
sesuai dengan tugas dan perannya di alam semesta baik itu alam yang skala/yang
bersifat nyata atau terlihat, maupun secara niskala/yang bersifat tidak nyata
atau yang tidak terlihat secara fisik.
SIMPULAN
Berdasarkan
analisis dan kajian yang dilakukan tentang ajaran filsafat Siwa/Saiwa maka
dapat digaris bawahi beberapa hal sebagai sebuah kesimpulan, bahwa filsafat
Siwa/Saiwa merupakan satu cabang dari
agama, dimana Tuhan/Ida Sang Hyang Widi Wasa disimbolkan sebagai Lingga dan
Yoni yaitu sebagai laki-laki dan perempuan sebagai lambing dari manifestasinya,
yang merupakan sebuah awal dari terciptanya alam semesta beserta isinya.
Seiring dengan berkembangnya ajaran
tentang ketuhanan , maka hadirlah filsafat-filsafat sebagai suatu acuan dalam
kehidupan manusia, yang merupakan ajaran atau wahyu dari Tuhan yang Maha
Esa/Ida Sang Hyang Widi Wasa.
Salah
satu dari beberapa ajaran-ajaran filsafat yaitu tentang filsafat Siwa/Saiwa,
yang merupakan pokok-pokok dari ajaran tentang ketuhanan dan kemahakuasaannya,
yang pada awal mulanya berkembang di daerah India, dan di sebarkan atau di bawa
oleh tokoh-tokoh agamawa seperti seorang Maha Rsi sampai di Indonesia.
Di
Indonesia banyak ajaran- ajaran tentang filsafat yang masuk dan berkembang
sehingga terjadinya banyak aliran-aliran atau sekte-sekta yang berkembang.
Tetapi yang lebih dominan adalah sekte Siwa Siddhanta yang berkembang di Bali.
Terbukti hingga sekarang tatanan-tatanan pemujaan yang ada di Bali menggunakan
ajaran-ajaran dari filsafat Siwa termasuk para tokoh-tokoh agama seperti para
sulinggih, sebagian besar mengusung ajaran dari filsafat Siwa yang dikenal
dengan Siwa Sesana.
Didalam ajaran tentang Siwa Sesana Seorang
yang sudah menjadi seorang Sulinggih dalam berprilaku dan berwatak haruslah
menjadi orang yang beretika, sopan, jujur, baik dalam pikiran, perkataan maupun
perbuatan. Dalam kata lain orang yang sudah di Dwijati, harus melaksanakan Tri
Kaya Parisudha, dalam kehidupan sehari-hari. Disamping itu seseorang yang sudah
di Dwijati harus melaksanaka Guru Susrusa, yaitu hormat kepada Guru lebih-lebih
kepada Guru Nabe sebagai sisia yang Diksita harus tunduk dan patuh pada Guru
Nabenya.
Jadi dari pemaparan itu disimpulkan bahwa
hubungan antara filsafat Siwa yang ada di India dan filsafat Siwa yang ada di
Bali adalah sama. Meskipun ada kesan berbeda dari ajaran filsafat Siwa yang ada
di India dengan filsafat Siwa yang ada di Bali, namun secara garis besar inti
dari ajaran filsafat Siwa itu tetaplah sama yaitu bersumber pada ajaran tentang
cinta kasih/kasih saying dan kedekatan kepada pemuja dan yang di puja yaitu
kepada Siwa khususnya sebagai manifestasi dari Tuhan yang Maha Esa/Ida Sang
Hyang Widi Wasa. Hanya tempat, waktu dan keadaan yang seolah-olah membentuk
suatu karakter pemujaan yang terlihat berbeda karena pada dasarnya ajaran
filsafat Siwa itu satu dan universal.
DAFTAR
PUSTAKA
Agastia, IBG, Made Titib dkk. 2005. Eksistensi Sadaka Dalam Agama Hindu. Denpasar:
Penerbit Pustaka Manikgeni.
Donder, I Ketut. 2007. Kosmologi Hindu Penciptaan, Pemeliharaan, dan Peleburan Serta
Penciptaan Kembali Alam Semesta. Surabaya: Penerbit Paramita.
Gautama Budha, Wayan. 2004. Tutur Gong Besi. Surabaya: Penerbit Paramita.
Maswinara, I Wayan. 2006. Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darsana Samgraha). Surabaya: Penerbit
Paramita.
Pudja, Gede. 1999. Teologi Hindu (Brahma Widya). Surabaya: Penerbit Paramita.
Rao,V.V.B, 2008. Siva
Purana. Surabaya: penerbit Paramita.
Sara Sastra, Gde. 2008. Bhujangga Waisnawa Dan Sang Trini Bagian Dari Konsep Saiwa Siddhanta
Indonesia. Denpasar: Penerbit Pustaka Bali Post.
Titib, I Made. 2001. Teologi & Sombol-simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya: penerbit
Paramita.
Titib, I Made. 2004. Purana. Surabaya: penerbit Paramita.
(http://id.wikipedia.org./wiki/sejarah hindu
bali,2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar